Kekeringan merambat pasti. Dalam hitungan hari tanah liat merah menjadi debu hingga tersapu angin. Tak ada lagi tetes hujan walau setitik. Embun pagi yang bertahan beberapa menit pun hilang. Sirna. Sampah-sampah bertumpuk tumpang-tindih di sela-sela batu kali kering, bergelut dengan lumpur di sumber-sumber air, bertebaran di jalan-jalan desa. Anak-anak kecil bermain. Salak anjing bersahutan terdengar di antara suara yang keluar dari sound system orang hajatan di kejauhan menghiasi siang hari yang terik.
Di daratan sejauh mata kami memandang yang terlihat warna kecoklatan. Hamparan bukit dan pegunungan yang hanya ditumbuhi rumput kering dan semak-semak hitam paska terbakar. Daun-daun bambu berwarna perak, kaku terkena jilatan nyala api. Seekor burung Sikatan terbang menjauh. Kupu-kupu kecil warna kuning, coklat dan hitam-putih beterbangan di antara ranting-ranting kering.
Kali Lusi yang dulu pernah diceritakan oleh sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya berjudul Cerita Dari Blora (1952) sekarang keadaannya sungguh amat memprihatinkan. Sungai yang membelah kota Blora dengan aliran airnya yang deras itu kini nyaris terancam. Hanya garis-garis kering yang menguratinya, tanpa aliran maupun rembesan di sela-sela batunya.
Dari penyusuran Kali Lusi kemarin tanggal 10 Agustus 2008 oleh kami, Komunitas Pasang Surut Team IA di daerah hulu yang dimulai dari Desa Gandu – Desa Gayam, Kecamatan Bogorejo, banyak sekali kenyataan lapangan yang berbeda dengan apa yang kami pikirkan sebelumnya.
Banyak penambangan batu di pegunungan tanpa memperhatikan amdal. Dengan hanya mementingkan keuntungan pemodal semata. Hal ini akan mengakibatkan daerah resapan dan tampungan air semakin banyak hilang. Artinya, air banyak yang tidak terserap, melainkan mengalir, mengakibatkan pengikisan tebing maupun pinggiran sungai, dan dengan cepat akan menghilang.
Penambangan pun menimbulkan dampak secara langsung maupun tidak langsung bagi keberlangsungan kehidupan ekosistem sungai dan hutan. Kami lihat di beberapa tempat ada pengendapan lapisan putih semacam serbuk kapur di batu-batu dan dasar sungai. Kekeruhan air sangat terlihat jelas. Tak ada satupun ikan yang kami temui dari penyusuran hulu kali dari Desa Gandu sampai Desa Gayam, hanya binatang sejenis laba-laba berkaki panjang yang mengapung dan bergerak-gerak di atas air.
Begitu juga dengan sampah –seperti yang banyak kami temukan di beberapa sumber dan sumur buatan. Kebanyakan sampah bekas produk sabun cuci bubuk, deterjen dan sampo. Tim kami mendapatkan satu kresek sampah plastik dari radius 4 meter di sekitar sumur buatan di daerah Cerawa, yang hingga kini masih dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kembang –yang jauhnya kurang lebih 1 km dari tempat tersebut.
Dari hasil pengumpulan dan pengamatan sampah yang ada, bisa dibagi menjadi 2 bagian, yaitu 70 persen sampah unorganik, seperti plastik bungkus produk sabun, bubuk deterjen, sampo dan makanan ringan, sedang 30 persennya adalah sampah organik berupa daun-daun, ranting dan kotoran manusia.
Karena aliran air, sampah yang ada akan turun menuju sungai-sungai di bawahnya. Sungai yang dipenuhi sampah mengakibatkan aliran air tidak lancar sehingga menyebabkan penyumbatan. Demikianlah sungai akan meluap. Akibat lainnya adalah lumpur akan menumpuk di sungai. Dengan penumpukan lumpur maka pendangkalan sungai tak terhindarkan.
Padahal untuk terurai secara alami, sampah plastik membutuhkan waktu 500 hingga 1000 tahun. Sehingga bisa diasumsikan bahwa selama ratusan tahun tersebut sampah plastik yang ada akan membawa dampak buruk bagi ekosistem, seperti menurunnya kualitas air sungai karena tercemar, rusaknya habitat bagi mahluk hidup yang hidup di sungai, menimbulkan polusi bau yang tidak sedap serta berbagai macam sumber penyakit menular.
Di daerah seperti Cerawa pohon besar praktis tak ada. Hutan rusak hingga pada taraf yang memprihatinkan. Bahkan pohon yang masih sebesar lengan manusia pun tak lepas dari tebasan parang. Seekor tupai melompat cepat. Ular kayu berwarna coklat melingkar lemas dengan perut kurusnya.
Menurut kesaksian Mbah Sri (72) dari Desa Gandu, bahwa cara-cara mendapatkan ikan dengan cara pemberian obat/ racun banyak dilakukan oleh masyarakat desa setempat dan masyarakat dari luar desa. Keberadaan satwa liar seperti ular sebesar pohon kelapa dulu dia masih sempat melihatnya. Dia juga melihat banyak orang yang melakukan penebangan pohon hingga mengakibatkan kelongsoran tanah di bantaran kali. Lebar Kali Lusi pun menurutnya kini berkurang sangat drastis dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, dan dia menjadi saksi sejarah bagaimana keanekaragaman hayati menurun tajam sekarang ini.
Jika menurut penelitian 1 pohon bisa mengikat air sebesar 4 kali berat pohon, maka semisal di suatu kawasan ada 1 pohon besar yang beratnya kurang lebih 1 ton, maka akar-akar pohon tersebut bisa mengikat lebih kurang 4 ton air di sekelilingnya. Itulah sebenarnya yang mengakibatkan sumber mata air akan tetap lestari. Karena mata air tidak muncul dengan sendirinya., tapi keberadaannya disebabkan ketika ada air yang tertampung dalam ‘tandon’ besarnya. Jadi kalian bisa bayangkan jika dalam satu kawasan telah dilakukan penebangan 1000 pohon besar. Bisa kalian hitung berapa jumlah air yang hilang?
Apakah ini musibah atau sesuatu hal yang alamiah?
Fenomena kekeringan bukanlah semata persoalan fenomena alam –yang kami maksudkan disini adalah lepas dari keterlibatan manusia. Sebagai manusia kita terlibat penuh dalam jaringan atau kehidupan organis di bumi ini. Karena jamak diketahui bahwa hal-hal tersebut hanya dianggap sebagai fenomena alam, dengan kata lain manusia sama sekali tidak berperan dalam mewujudkan fenomena tersebut. Ini mengingat bahwa manusia selama ini memandang realitas di luar dirinya sebagai obyek yang tidak berkesadaran dan tanpa makna. Dan kekeringan di Kali Lusi bukanlah serba kebetulan belaka.
Kondisi memprihatinkan yang terjadi di daerah hulu Kali Lusi –yang notabene daerah pegunungan dan pedesaan, patut dicermati. Kekeringan, hilangnya sumber mata air dan banyaknya sampah di Kali Lusi adalah persoalan struktural. Dengan kata lain bahwa kehidupan masyarakat lokal dan global sekarang ikut mendorong kering dan punahnya sumber mata air Kali Lusi –dan sungai-sungai lainnya.
Coba kita pertanyakan kembali konsepsi kita mengenai bencana yang kita sebut sebagai bencana alam. Dalam kasus ini, jika kekeringan yang terjadi disebabkan atas penambangan pegunungan kapur yang besar-besaran, pengambilan dan penebangan pohon-pohon di hutan, perburuan satwa liar, pengambilan ikan dengan obat atau racun, penggunaan pupuk kimia di bidang pertanian, pembuangan sampah dan limbah rumah tangga atau industri, pembakaran dan pembukaan lahan, tingginya pola hidup konsumeristik masyarakat, tentu hal ini bukanlah kehendak alam melainkan akibat ulah manusia.
Semua persoalan ini tidak bisa dilihat semata akibat minimnya kesadaran masyarakat pedesaan, tetapi juga seberapa jauh budaya konsumerisme sebagai salah satu tiang penyangga Neoliberalisme merasuk dalam pola kehidupan masyarakat yang ada.
Selama struktur masyarakat didominasi oleh kepentingan pasar, Kali Lusi juga sungai-sungai lainnya pun sedang menuju kehancuran. Sehingga membiarkan struktur kehidupan yang berpihak pada kapitalisme global yang mendominasi kehidupan sama saja kita sama-sama menciptakan bencana sosial.
Mungkin keabadian hanyalah suatu ketidakabadian, atau sebaliknya. Dan yang pasti kalian pun tahu kapan aliran sungai itu akan kering dan berhenti mengalir. Hilang.
Blora, 14 Agustus 2008
Eko Arifianto
HP. 081328775879
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar