Kamis, 13 Mei 2010

Jadwal Susunan Acara Panggil Aku Kartini Saja

Jadwal Susunan Acara
PANGGIL AKU KARTINI SAJA
Peringatan 4 Tahun Meninggalnya Pramoedya Ananta Toer


Hari I : Kamis, 29 April 2010

09.00 – 11.00 Pembukaan
1. Doa oleh Eyang Soelistijono ”Bimolisworo”
2. Sambutan oleh Bp. Soesilo Toer
3. Peresmian Paving Pelataran Rumah dan Patung Pramoedya oleh Romo Didik
4. Pameran Sketsa/ Lukisan (SD Negeri Jetis I dan II)
Pameran Sketsa/ Lukisan SD Kauman I dan SD Katolik Krida Dharma
Pameran Sketsa/ Lukisan SD Kedung Jenar I dan SD Muhammadiyah Blora
5. Pameran Batu dan Fosil (Eko Arifianto dan Bruriya Setiawan)
6. Pameran Benda Temuan (Soesilo Toer)
7. Pameran Batik Rembang Motif Blora (Titien, Rembang))
8. Pemberian Award PATABA pada Bp. Suyono sebagai Pengunjung Aktif Perpustakaan
9. Barongan Gembong Samijoyo dengan lakon ”Geger Nusa Kendeng”

16.00 – 17.30 Bedah Buku “Panggil Aku Kartini Saja”
Pembicara: Gunawan Budi Susanto, Wartawan, Semarang
Moderator: Baskoro “Bessy Pop”

17.30 – 18.00 BREAK Maghrib

18.00 – 19.00 Hadrah Nurul Hidayah dari RT.01 RW.01, Desa Jetis, Kabupaten Blora

19.00 – 19.15 BREAK Isya’

19.15 – 19.30 -Pembacaan Puisi Arie Pethek, Komunitas Anak Seribu Pulau, Randublatung
-Pembacaan Puisi MingMing, Brandal Kartini Rembang

19.30 – 20.15 Hadrah Nurul Hidayah dari RT.01 RW.01, Desa Jetis, Blora

20.15 – 21.00 Pentas Teater Samar karya Mophet SK, Kudus berjudul ”Rona III: Dongeng Metamorfosa”

20.00 – 24.00 Pemutaran Film
1. Film Dokumenter Pram ”Mendengar Si Bisu Bernyanyi” (LONTAR)
2. Selamatkan Gunung Kendeng (JM-PPK)
3. 17 Tahun Ke Atas (Ijo Lumut, Indramayu)
4. Sharing dan Tanya Jawab dengan Film Maker ”17 Tahun ke Atas”, Elinah, Indramayu


Hari II : Jumat, 30 April 2010

09.00 – 11.30 Pameran Sketsa/Lukisan/Fosil/Batu dan Benda Temuan

11.30 – 13.00 BREAK Sholat Jumát

13.00 – 16.00 Pameran Sketsa/Lukisan/Fosil/Batu dan Benda Temuan

16.00 – 16.45 Teater Gambas, Randublatung, berjudul ”Sri Minggat”

16.45 – 17.30 Berbagi Kisah dengan Pak Koesalah Soebagyo Toer dan Pak Soesilo Toer
Moderator: Gunawan Budi Susanto

17.30 – 19.00 BREAK Maghrib hingga Isya’

19.00– 20.30 -Launching Zine Acara ”Di Antara Pena, Perempuan dan Keberanian”
-Penyerahan Zine Acara kepada Bp. Koesalah Soebagyo Toer dan Bp. Soesilo Toer oleh Eko
Arifianto

-Pembacaan Puisi + Musikalisasi:
1. Kelompok Musik Jalanan ”Kebo Marcuet”, Blora
2. Arie Pethek, Komunitas Anak Seribu Pulau, Randublatung
3. Ming Ming, Brandhal Kartini, Rembang
4. Veronica Indra Permana, Blora
5. Bessy Pop, Rembang
6. Hei Haryono, Forum Sastra Blora
7. Ervin Ruhlelana, Elo Progo, Bandung
8. Purbo Sri Harjono, Forum Sastra Blora

20.30 – 21.15 Performance Art kawan-kawan Radublatung berjudul ”Monster Kendeng”

20.30 – 24.00 Pemutaran Film
1. Sedulur Sikep dan Kearifan Lokal –Film Dokumenter Wawancara dengan Bp. Soepardji,
Jasem, Jepangrejo, Blora (Eko Arifianto, Cahya Lintang Mandiri)
2. RA Kartini (Sjumanjaya)
3. Lapindo


Hari III : Sabtu, 1 Mei 2010

09.30 – 12.00 1. Musik Keroncong Jalanan ”Punakawan”, Desa Kauman, Kabupaten Blora
10.00 – 11.00 2. Pemberian Award Karya Sketsa/Lukisan Siswa-Siswi Terkreatif
12.00 – 12.10 3. Pemberian Award Grup Musik Keroncong ”Punakawan” oleh Bp. Soesilo Toer
12.10 – 12.15 4. Penutup


*****************

Foto-Foto Acara Panggil Aku Kartini Saja --Peringatan 4 Tahun Meninggalnya Pramoedya Ananta Toer





Kutipan - Kutipan Kartini

Banyak kebijaksanaan lain yang bisa kita dapatkan dalam sosok Kartini. Berikut ini sebagian kutipan dari surat-surat dan karya-karyanya yang bisa kami ambil dan dibagikan kepada kawan-kawan untuk bahan pembelajaran bersama.

“Betapapun indah dan bagus serta penuh kemewahan kurungan itu, bagi si burung yang terkurung di dalamnya, dia tetaplah kurungan!” (Kartini, Agustus 1900)

“Apakah “Raden Ayu” itu?” (Kartini, Agustus 1900)

“Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tetapi kalau kami mencoba maju, kemudian mereka bersikap menantang terhadap kami.” (Kartini, Januari 1900)

“Kalau orang Jawa terpelajar, dia tidak akan jadi pengamin saja, takkan menerima segala macam perintah atasannya lagi.” (Kartini, 12 Januari 1900)

“Bertambah banyak orang jawa bekerja, bertambah banyak laba didapat oleh mereka (pembesar-pembesar dan sebagainya), oleh pemerintah, oleh nasion.” (Kartini)

“Barangsiapa bersahabat dengan seorang pembesar, dapat memeras keringat Rakyat bawahan sekehendak hatinya.” (Kartini)

“Pemerintah itu juga yang membuat penduduk terbungkuk-bungkuk memikul pajak yang berat.” (Kartini, 12 Januari 1900)

“Sudah pastilah, bahwa dunia Pribumi akan menentang aku,... Orang akan menganggap aku gila. Namun, gagasan itu indah, yaitu dengan melalui pers memperjuangkan cita-cita.” (Kartini, 31 Desember 1901)

“Dalam kawruh Jawa terdapat banyak petuah yang sangat bagus. Hanya sayangnya, tidak semua orang dapat mengerti simbolik.” (Kartini, 11 Oktober 1901)

“Tetapi apakah kecerdasan pikiran itu sudah berarti segala-galanya? Bila orang hendak sungguh-sungguh memajukan peradaban, maka kecerdasan pikiran dan pertumbuhan budi harus sama-sama dimajukan... Salah satu sifat orang Jawa yang tidak baik, yang kalau perlu dibasmi ialah sifat gila sanjungan...” (Kartini, 1900)


“Bagian-bagian sejarah yang sangat aku nikmati, ialah jaman purba; sayang sekali, bahwa hal itu cuma sedikit saja yang bisa didapatkan.” (Kartini, 10 Juni 1902)

“Bukan terhadap kaum pria kami melancarkan peperangan. Tetapi terhadap anggapan kuno, adat, yang tidak lagi mendatangkan kebajikan bagi Jawa kami di kemudian hari, dan juga dengan beberapa orang lain kami akan bersama-sama jadi pelopornya.” (Kartini, 10 Juni 1902)

“Alangkah bahagianya laki-laki, bila isterinya bukan hanya menjadi pengurus rumah tangganya dan ibu anak-anaknya saja, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaannya, menghayatinya bersama suaminya.” (Kartini, 4 Oktober 1902)

“Bagi saya hanya dua macam kebangsawanan: bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Pada pikiran saya tidak ada yang lebih gila, lebih bodoh daripada melihat orang-orang yang membanggakan apa yang disebut “keturunan bangsawan” itu. (Kartini, 18 Agustus 1899)

“Duh, Tuhan, kadang aku ingin, hendaknya tiada satu agama di pun di atas dunia ini. Karena agama-agama ini, yang justru harus persatukan semua orang, sepanjang abad-abad telah lewat menjadi biang-keladi peparangan dan perpecahan, dari drama-drama pembunuhan yang paling kejam.” (Kartini, 6 Nopember 1899)

“Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal. Siang malam anak-anak ada di rumah, di sekolah sehari hanya beberapa jam saja.” (Kartini)

“Tiada terang yang tiada didahului oleh gelap... mengendalikan diri adalah kemenangan jiwa atas tubuh; kesunyian adalah jalan ke arah pemikiran.” (Kartini, 15 Agustus 1902

“O, maut! Mengapa kau begitu ditakuti, kau, yang dapat bebaskan manusia dari kehidupan yang kejam ini. Ni akan merasa sangat berterimakasih dan dengan girang menerimanya.” (Kartini, Agustus 1900)

“Kami bernama orang-orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah kata, adalah bunyi tanpa makna..” (Kartini, 15 Agustus 1902)

“Selalu menurut paham dan pengertian kami, inti segala agama adalah Kebajikan, yang membuat setiap agama menjadi baik dan indah. Tapi, duh! Orang-orang ini apakah yang telah kalian perbuat atasnya!” (Kartini, 21 Juli 1902)

“Tuhan kami adalah nurani, neraka dan sorga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami; dengan melakukan kebajikan, nurani kami pulalah yang memberi karunia.” (Kartini, 15 Agustus 1902)

“Habis malam terbitlah terang,
Habis badai datanglah damai,
Habis juang sampailah menang,
Habis duka tibalah suka.” (Kartini, 15 Agustus 1902)

“Panggil aku Kartini saja –itulah namaku.” (Kartini, Surat, 25 Mei 1899, kepada Estelle Zeehandelaar)

“Negara dan bangsawan mendapatkan keuntungan, tetapi rakyat mendapat apa?” (Kartini)

“Dan bila pulau Jawa mempunyai ibu-ibu yang cakap dan pandai, maka peradaban satu bangsa hanyalah soal waktu saja!” (Kartini)

”Kewajiban yang diterapkan oleh ibu alam sendiri kepada perempuan: pendidik pertama umat manusia!” (Kartini)

“Pergi, garap kerjamu melaksanakan cita-cita; kerja buat hari depan; kerja buat kesejahteraan ribuan, yang terbungkuk-bungkuk di bawah tindasan hukum-hukum yang tidak adil, di bawah paham palsu tentang baik dan buruk; pergi, pergi, menderitalah dan berjuanglah tapi kerjalah buat keabadian!” (Kartini, 4 September 1901)

“Dalam setiap jaman ada saja gadis-gadis yang berontak.” (Kartini)

Begitulah seorang perempuan bernama Kartini yang sebenarnya, mungkin sebagian besar dari kita baru tahu sekarang ini. Selamat merenungkan apa yang menjadi buah pemikirannya.


Informasi lebih lanjut kawan-kawan bisa menghubungi:

Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut
Jl. Sumbawa 40 Jetis 58214 Blora Telp.(0296) 5100233, HP. 081328775879, 085740413645
Email: pasangsurutblora@yahoo.com www.pasangsurutblora.blogspot.com

Panggil Aku Kartini Saja





Panggil Aku Kartini Saja
[Peringatan 4 Tahun Meninggalnya Pramoedya Ananta Toer]

“Barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!”

(Kartini, 6 Nopember 1899)

Tanah Jawa hari ini telah menjadi Eropa, tanah yang tidak manusiawi. Tetapi zaman ini adalah milik kita dan bagaimanapun juga adalah tanggung jawab kita. Satu-satunya nilai yang tertinggal adalah kenang-kenangan –sebuah kenyataan pahit yang telah lama membusuk. Dalam pandangan Kartini seabad yang lalu, ia melihat bahwa rakyat Jawa adalah rakyat yang hidup dalam kenang-kenangan. Maka adalah indahnya bagi mereka hilang tenggelam di dalam mimpi-jiwa berabad mereka. Ironisnya hingga saat inipun keadaannya tidak berubah!

Kartini sekali-kali tidak mau membuat murid-muridnya menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang Jawa Eropa. Dengan pendidikan bebas dia bermaksud membuat orang Jawa menjadi orang Jawa yang sejati, yang menyala-nyala dengan cinta dan semangat terhadap nusa dan bangsanya, humanisme universal, dengan mata dan hati terbuka terhadap keindahan serta kebutuhannya. Sebuah cita-cita luhur nan mulia.

Namun feodalisme pribumi Jawa menghadangnya. Pengkhianatan atas harapan dan kekecewaannya yang penuh amarah itu semuanya ditegaskan dalam tulisan-tulisannya yang liar dengan kritik dan analisa yang tajam. Dogma dari lingkungan palsu dengan tembok tebal empat lapis yang didiaminya mengasah pemikiran bajanya menjadi sebuah pedang. Kebebasan! Kemerdekaan! Kemandirian! Namun sayang, gagasan, ide-ide lugas serta interpretasi Kartini yang begitu ekstrem dan revolusioner dikhianati oleh pemikiran tradisional reaksioner. Sekelompok orang ini mengambil alih suatu gerakan besar emansipasi manusia yang ada dan memberikan aspek-aspek yang paling mengerikan –memberikan substansi pada standar nilai yang baru yang dekaden. Gerakan pembebasan yang ada saat ini telah menjadi sebuah produk degradasi. Ini adalah kenyataan menyedihkan bagi setiap manusia korban sejarah bengkok dan buram.

Jika seperti itu, maka kematian Kartini adalah kematian yang sia-sia, tidak mengubah apa-apa. Slogan mistik “Mati dan engkau menjadi dirimu,” adalah penanda berakhirnya sejarah. Tragedi yang tak berbelas kasih ini adalah mutlak sebuah penaklukkan serangkaian perjuangan yang panjang. Sebuah api penyucian dosa, dan seperti tamparan keras bagi kita semua— Kartini dengan sukarela menjalaninya.

Sebagai pengarang, Kartini telah bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citanya, bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat. Tentu para penjajah yaitu orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohannya. Jikalau dia mencoba maju, kemudian mereka bersikap menantang terhadapnya. Tak hanya itu, dunia pribumi juga menentangnya. Orang-orang menganggapnya gila. Gagasan indah untuk meraih cita-cita itu terus diperjuangkannya hingga maut menjemput dalam 25 tahun usia mudanya.

Seperti halnya Pram yang sangat benci dengan konsumerisme dan ketidakproduktifan yang menjadi biangkerok korupsi di Indonesia, Kartini pun mengkritik budaya konsumtif bangsa ini –dan kemudian mengajarkan agar anak-anak bangsa berproduksi. “Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain-lain! Kerja! Kerja! Aku dengar itu begitu jelas, nampak tertulis di depan mataku,” begitu surat tertulisnya tertanggal 8 April 1902.

Banyak kebijaksanaan lain yang bisa kita dapatkan dalam sosok Kartini dan Pram. Untuk itu dalam rangka peringatan 4 tahun meninggalnya sastrawan besar dari Blora, Pramoedya Ananta Toer, kami dari Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut akan menggelar acara bertitel “Panggil Aku Kartini Saja”. Acara akan diselenggarakan selama dua hari yaitu tanggal 29-30 April 2010 bertempat di rumah bersejarah jalan Sumbawa 40 Jetis Blora. Bentuk acaranya antara lain: pameran, diskusi, bedah buku, pentas seni budaya, teatrikal, performance dan pemutaran film dokumenter. Seperti halnya dengan Kartini, harapan kami semua ini menjadi secercah cahaya yang bermanfaat bagi bangsa ini. “Habis malam terbitlah terang, Habis badai datanglah damai, Habis juang sampailah menang, Habis duka tibalah suka.” Salam.

Informasi lebih lanjut kawan-kawan bisa menghubungi:

Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut
Jl. Sumbawa 40 Jetis 58214 Blora Telp.(0296) 5100233, HP. 081328775879, 085740413645
Email: pasangsurutblora@yahoo.com www.pasangsurutblora.blogspot.com

Rabu, 17 Maret 2010

Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung


Dening Mbah Guru
Kasalin dening Sariman Lawantiran
Kawetokake dening
Dewan Pengandhar Sabda Badra Santi
ing
Padhepokan Argasoka

——————————————————————————

Sagunging kahormatan
Nuwun

Purwaka

Buku sejarah punika nyatheti wiwit ing taun Masehi 1931, saking kepek cathetan tuwin pangandikanipun Eyang Buyut canggah guru desa, tuwin Eyang Pandhita Kanung ing Pareden Kendheng Ngargapura, Pomahan, Sukalila lan Prawata.

Piweling tuwin pamantos-wantosipun para swargi Eyang Panembahan Kanung punika: “Nggeeerr anak putuku.. Tak weling poma-poma aja nganti dilirwakake!!! Sejarahe canggah wareng leluhur Kanung iki aja nganti keprungu lan diweruhi dening wong sabrang ngatas angin Maghribi. Yen nganti keprojol, awake dhewe mesthi bakal cilaka lan bilahi; klakon dibuwang neng Sawahlunta. Emrehe disirik wong Mutihan wong Kutha.. Mbesok yen wong Kebo Bule wis mulih ning kandhange, crita sejarahe leluhur Kanung iki bakal dilari digoleki dening priyagung Jawa kang mamestri ngleluri kabudayan Jawa. Lhah ing kono anak putuku tedhake wong Kanung aja tidha-tidha supaya mangastuti medhar mbabar sejarahe luhure dhewe iki: Sura Dira Jaya-ning Rat bakal lebur dening Pangastuti!!!”

Mila ingkang mekaten punika sejarahipun leluhur Kanung punika selaminipun jaman penjajahan Landi tuwin Nippong sami sireb kependhem ing pranataning Panguwasa. Nembe jaman Kemerdekaan R.I. punika riwayatipun tiyang Kanung punika wiwit trubus muncul malih. Sanajana taksih wonten Priyantun ingkang ngencepi tuwin mitenah, ngendikanipun: “Tatacara Kuna-Endra wis kependhem wis ilang sirna, kok arep dithukulake maneh. Kolod Mbaahh, kolod. Wis ora njamani!!!”

Tumrap kita para sutresna sejarah leluhur Kanung tuwin ngrawat lan memundhi punden leluhur Kanung punika perlu nguri-uri memetri Seni-Budaya Jawi piwulangipun swargi leluhur canggah wareng; wonten bukti kubur patilasanipun nyangkleg wonten ing bumi papan panggenan kita, ing negari kita.

Wusana sampun kirang ing pamengku, Nuwun!!!

Katiti ing Padhepokan Argosoka, 28 Juni 1996.
Pambabar buku sejarah

ttd

Kacorek kaleresaken

——————————————————————————————————

Sejarah Kawitane :
Ana Wong JAWA lan Wong KANUNG
dening : Mbah Guru

Peta Jawa Dwipa

I. Jaman JAMAJUJA (Puluhan ewu tahun kepungkur)

Dhek jaman semana Pegunungan Kendheng kuwi wujude ana pegunungan 2 (loro):
1. Pegunungan Kendheng Kidul, karan Pegunungan Kendheng tuwa.
2. Pegunungan Kendheng Lor, karan Nusa Kendheng.

1. Pegunungan Kendheng Kidul

Kuwi dununge wiwit saka wetan Pegunungan Kabuh, Kabupaten Jombang, mbanjeng mujur mengulon tutug Pegunungan Masaran, Kabupaten Sragen.

Sabab saka anane lindhu prakempa Gunung Lawu jaman sangang ewu tahun kepungkur, ndadekake Pegunungan Watujago bengkah omblah-omblah mujur mengulon; wasana dadi Lembah Ngawi kanggo dalan iline Bengawan Sala nrabas menggok ngalor tutug Cepu.

Sakdurunge ana lindhu gedhe, Pegunungan Watujago tutug Pegunungan Masaran kuwi dienggoni menusa sing isih wuda mblejed, wujude kaya kethek-rangutan gedhe pangane rupa kewan: kodok, kadal, ula, cacing, jangkrik, walang, sarta woh-wohan: mulwa, srikaya, mete, dhuwet, popohan, nanas lan liya-liyane.

Kabeh mau mung cukup ngapek utawa nyekel ning alas panggonane urip neng kono. Panggonane turu ning gowok sing dhuwur utawa pang-pang gedhe, durung ana sing wani turu ning guwa; sabab guwa-guwa kuwi mesthi dienggoni macan gembong. Wong mau yen mati bangkene diumbar ngenggon kono nuli ditinggal lunga, wekasane diothel-othel dipangan kewan galak; balunge pating kececer ning kana-kana katut banjire Bengawan Sala padha nyangrah ning mbereman Gemolong, Kalijambe, Kabupaten Sragen, wasana kurugan lumpur lan padhas linede Bengawan Sala, uga ana sing tutug mbereman Ngandong, Kabupaten Ngawi.

Wong pulo liya sing wis padha duwe tata-budaya, olehi ngarani wong ngono mau aran Wong Legena. Uga ana sing ngarani Gandaruwo. Ana maneh sing ngarani Kethek Limuri.

2. Pegunungan Kendheng Lor

Pegunungan Kendheng Lor (Nusa Kendheng) watara limang ewu taun kepungkur wis dienggoni wong sing luwih maju tinimbang wong Legena, wong-wong mau wis bisa gegaweyan gaman-watu diasah landhep. Nusa Kendheng kuwi nalika semana isih wujud Pulo gedhe cawang telu kang kinilung Teluk Lodhan lan Segara; ing sisih wetan ngongkang Telok Lodhan lan Segara Kening. Sisih kidul keledan Segara Selat Kendheng-Kidul lan Segara Teluk Lusi. Sisih kulon Segara Teluk Serang kang tepuk karo Segara Selat Murya. Sisih lor Teluk Juwana lan Samodra Jawa kang jembar lerab-lerab. Gunung Murya isih wujud gunung geni dhuwur-ngukusan, dikilung segara.

Nusa Kendheng kuwi ora duwe tanah ngare lembah banthak tadhah udan kang ngembong banyu; wujude mung pegunungan alelengkeh jurang lan gompeng; ing sawetara gompeng ana guwa-guwane padhas sing jembare mung sarompok teba. Neng bumi Nusa Kendheng kono kuwi ora ana thethukulan pari lan jumawud, sing ana mung jalinthing, canthel, lan jagung-kodhok kang thukul subur neng lelowah sing ngembes; wohe dadi pangane kethek, bethet lan bantheng. Ning alas kono lebeng wite: jati, trenggulun, sawo-kecik, mete, klethuk, lan mulwa.

Gisike-pesisir nggenggeng wit: krambil, bogor (tal), jambe. Pesisire sing wujud rawa-embet klethukulan: rembulung, bongaow, sarta brayo kang nrecel riyel. Ning punthuk pegenengan sing dhuwur-dhuwur ketel suket-kalanjana lan alang-alang sing dienggoni grombolane bantheng. Bantheng wadon aran Jawi. Sing gemati banget (jawa banget) ning pedhet-pedhete. Ing wayah bengi jawi-jawi mau yen padha turu padha kupeng adu bokong karo jawi-Jawi liyane ngilung pedhet-pedhete. Dene bantheng-lanang sing mbenguk padha kekiter njaga grombolane, aja nganti dimunasika kewan-galak.

Nalika semana Pegunungan Kendheng Lor kuwi wis didunungi menusa wong asli pribumi kono. Dedege endhek pawakane cilik, kulite nembaga. Kauripane isih wlaha lugu deles, nanging wis nduwe kemajuwan. Tatabudaya gegaweyan; sandhangane rupa cawed saka lulup waru diperut-alus dienam, utawa lulang kewan diucel nganti lemes. Uripe sagotrah manggon ning guwa-guwa padhas mau, kekancan karo asu-gladag sakirike sing wis padha kawong lulud melu manggon cedhak guwa kono.

Bocah-bocah cilik karo kirik kerep padha gojeg kekuwelan nanging nyakote ora tenanan, mung padha ngos-ngosan pating krenggos. Panguripane wong-wong mau saka kekrapa, nyelog, memed, lan mbebedag-ajag. Gamane rupa payal, panah, bedhor, sing digawe saka watu-jae kempling diasah mlingir landhep banget. Yen luru pangan asu-asu kuwi mesthi melu kekinthil utawa jejigar sesanderan ngoyak kewan nuronan, uga sok melu nyelog ndukiri palapendhem-alasan. Oleh-olehane pangan digawa mulih dirantengi mung dikoprok thok, yen wis mateng nuli dioser-oseri awu rencek-sangkrah segara dadine mbanjur krasa asin; nuli dipangan kepyah-kepyah sabrayate uga asu-asu sakirike padha melu mangan bebarengan. Genine entuke saka wit kang kobong disamber bledheg, pang-pang garing ana genine mengangah merga gesekan karo pang-pang liyane ing mangsa ketiga-ngangkang. Geni kuwi digawe totor marong rina-wengi ning sacedhake guwa kono; yen bengi ngiras digawe memedeni kewan galak supaya ora wani nyedhaki guwa kono; kawuwuhan kewan-kewan galak kuwi padha giris dijegogi asu-gladhak sepirang-pirang swarane mawurahan rame. Yen pinuju padhang rembulan wong-wong mau padha seneng-seneng ning sak njabane guwa, pada jejogedan lan gegandhangan sarta keplok-keplok lan anyul-anyul cangkeme mecucu kaya cupu, tunggak-tunggak utawa kayu sing ngglonthong dithuthuki digawe tetabuhan. Wong asli dhek jaman JAMAJUJA sing uripe isih sarwa deles prasaja wlaha ngono mau diarani Wong Suku Lingga.

SIGEG

II. Jaman KUNA-MAKUNA (Sadurunge Tahun Masehi, Nabi Isa el masih durung miyos)

Wong Nusa Bruney-kidul sing manggon ning saurute pesisire Teluk Sampit sarta neng tepis kiwa tengene Bengawan Sampit-hilir, ing sawijining wektu ketrajang pageblug-gedhe. Jare wong-wong Sampit kuwi padha digrowoti Setan Blarutan-sogrok weteng; nganti akeh banget wong-wong sing padha mati, luwih-luwih bocah cilik sing isih demolan. Wong-wong sing isih urip padha miris banget, nuli padha ngungsi minggat ngumbara lelayaran mengidul nyabrang samodra Bruney; tumuju ning Nusa Kendheng. Setan Blarutan ora wani nyabrang samodra nututi wong-wong ngungsi mau, jare wedi kesiku Bathari Hwa Ruh Na, ratune Jim-Samodra.

Mangkate wong-wong ning Nusa Kendheng dipangarsani dening Kie Seng Dhang, sawijining wong tuwa Sampit sing wegig lan akeh pengalamane, wong sing jangklanglana ning manca negara. Sawise lelayar sepuluh dina sepuluh wengi, ing wayah pajar bang-bang-wetan katon regemenge Gunung Nusa Kendheng (saiki Gunung Ngargapura Lasem); gisik sawetane Ngargapura katon sesawangan (pemandhangan, saiki dadi desa Pandhangan) kang ngresepake pandulu. Puncake Gunung Ngargapura katon ampak-ampak memplak, langit resik ngalela warnane biru-lasuardi; ombak agilir-gilir lindhuk nyempyok gisik pesisir sawetane Ngargapura.

Yaaa neng bumi kono kuwi wiwite wong-wong Sampit padha ndarat cakalbakal dadi bangsa-anyar, aran Wong Jawa.

Let sapenginang (wong-wong wadon Sampit padha seneng nginang nglenthusi woh jambe sing isih enom, arane Mucang), prau-prau mau wis padha mepet gisik (palwa-palwa = palwangan. Plawangan, saiki dadi desa Plawangan), para Pandhega mbuwang dandhan padha ndokok (menaruk-naruk, saiki dadi desa Narukan) praune jejer-jejer urut gisik mbanjeng mengidul. Nenek-nenek padha ndisiki mudhun saka prau kanthi mbuwang susure tepes-jambe ning segara, minangka sarat mbuwang sebel saka negarane. Nyi Seng Dhang nguculi udhete ngrogoh cepuk isi lemah-lebu saka bumi Sampit, disawurake ning gisike bumi Ngarga Kendheng; nuli sembahyang sujud sumungkem Pretiwi lan tumenga Angkasa. Wong-wong wadon liyane padha melu sembahyang bebarengan, ing pamuji: “Muga-muga sagotrah krandahe sing padha neneka kuwi padha entuka Kabekjan lan Karahayon pindhah tetruka ning bumi kono, tulusa trah-tumerah turun-tumurun bebranahan nganti pirang-pirang jaman dadi bangsa-anyar neng Nusa Kendheng.”

Wong-wong lanang nuli padha nusul munggah dharatan luru papan panggonan sing nyangkleg ning Tuk, kanthi enthuk pituduh lan pangeguh saka kakek Kie Seng Dhang sing lakune wis sempoyongan astane digandheng putune Putri-kinasih umur 12 tahun; praupane ayu pindha golek-kencana, asmane Nie Rah Kie.

Kakek Kie Seng Dhang mlaku nusup-nusup ning alas bebondhotan, sawise oleh papan kang cocog lan gathuk nuli prentah ning kabeh krandahe diutus mbubak grumbul nebang kekayon digawe teba. Putri Nie Rah Kie weruh kembang warnane putih-memplak anjrah nedhenge medem uga ana sing isih kundhup gandane amrik-wangi, wite pating grembel ngoyod ning gompeng. Sang putri kesengsem banget nuli matur ning Eyange. “Besuk yen wis duwe omah lan karasan arep nandur kembang sing warnane putih ngresepake banget ngono kuwi.” Kembang mau dijenengke kembang Melathi dening Sang Putri.

Watara patang sasi alas kuwi wis dadi papan-pomahan lan pekarangan; nalika kuwi tepak mangsa Labuh wayahe boros padha trubus, uler jati padha dadi ungker, woh-wohan padha medhohi, palapendhem akeh sing isih bentet; ndadekake wong-wong seneng ayem ngrasa ora kekurangan pangan.

Minangka kanggo mengeti asal-usule Kie Seng Dhang kuwi saka desa Tanjung-matalayur sawetane Teluk Sampit bumi Nusa Bruney pesisir kidul, mula punjere desa cakal bakal sing didunungi Kie Seng Dhang sagotrah-krandahe mbanjur dijengke desa Tanjungputri (saiki dadi desa Tanjungsari, Kecamatan Pandhangan/ Kragan Kabupaten Rembang).

Sawise dadi karas-pekarangan lan pomahan, ing sawijining dina wong-wong mau padha ngumpul ning Balepaguyuban Tanjungputri, perlu ngrembug Tatapranata lan Tataraharjane desa disesepuhi kakek Kie Seng Dhang. Giliging gawe putusan:

1. Ngangkat Kie Seng Dhang diwisudha dadi Sesepuh lan Dhatu Tanjungputri ing salawase Urip, mrenata bumi Pegunungan lan Pesisire Ngargapura, wiwit Pandhangan tutug teluk Lodhan sing gisike wujud Wedhi-malela. Teluk kuwi nggenggeng alase wit Pung kang ketel sirung, ing sisih wetan ana bregade wit Pung-gedhe banget cacahe ana telu (=Sam, saiki dadi desa Sampung).
2. Bumi Nusa-Kendheng diganti aran: Tanah Jawi, nulad arane Bantheng-wadon (jenenge: Jawi) sing dikramatake dening wong Lingga.
3. Awake dhewe kuwi wis ora aran wong Sampit maneh, ngganti aran; wong Jawa, Nulad watake bantheng-wadhon kang jawa-banget (=gemati, ngerti, wigati) mring pedhet-pedhete. (Bumine aran: Tanah Jawi, menusane aran: Wong Jawa).
4. Wong-wong kuwi nuli menehi tetenger Tahun, wiwite dadi Wong Jawa, diarani (Tahun Jawa Hwuning: 1 = 230 tahun sakdurunge tahun Masehi); sarta digawekake Lambang-Reca watu-item gedhene sak-menusa, pethane Kie Seng Dhang ndodhok ning Pongol sawetane Gunung Tunggul. Para tetuwa diwajibake nganggo kalung rambute dewe ditampar, lan diwenehi mendhel/ gandhul singg digawe saka Watu-jae wilis gedhene sajenthik-manis; memper recane Kie Seng Dhang.

Wong-wong mau padha Prasetya-Suci

1. Wong Jawa turun-temurun tutug Jaman apa wae tetep padha ngrungkepi Tatapercayaan-Suci Hwuning, naluri saka leluhur Nusa Bruney bangsa Chaow (=inggatan=ngumbara) saka Nusa-Hainan; jaman Jamajuja 3000 taun kepungkur (1000 taun sakdurunge Nabi Isa el Masih miyos). Guru-guru Agung bawana Masriki uga durung miyos neng Alam-ndonya, yakuwi: 1. Laow Tze Tao, 2. Hud Tze Buddha, 3. Kong Tze Khonghucu. Wondene asal-usule bangsa Chaow sing kawitan kuwi wong saka negara China, tepise bengawan Yang Tze Kiang udhik diapit Pegunungan Kwen Lun lan Pegunungan Tang La, Propinsi Ching Wai. Wong-wong mau sumebar mengidul ning bumi Tiongkok-Kidul (Nalika 4000 taun kepungkur=2000 taun sakdurunge taun Masehi), ngliwati sakidule Pegunungan Yun Lin. Ngliwati Propinsi Yunan, Propinsi Kwang Sie, Propinsi Kwang Tung. Nuli nyabrang segara munggah dharatan Nusa-Heinan, sabanjure nuli nyabrang mlebu Nusa-Bruney; sumebar anjrah dadi banbgsa-anyar suku Dhayak rupa-rupa jenenge manut arane Bengawan-bengawan kono (Barito: Maanyan-siung. Kayan: Apokayan, Kenya. Segah: Segal. Maham. Punan. Sampit). Sawise dadi wong Dhayak Sampit nuli ngumbara maneh nyabrang samodra ngancik Nusa-Kendheng, malih ngganti aran: Bangsa Jawa.
2. Ing mbesuk Wong-wong Jawa neng Negara ngendi wae tansah padha nguri-uri ngagungake Ke-Jawane, lan mekarake Senibudaya Jawa.
3. Wong Jawa sing nyingkur/nyepele ke-Jawa-ne bakal dadi wong Jawa-jawal sing ora nduwe Dhangkel lan Oyod-lajer. Uripe tansah Nglindur lan Mbangkong nganti ngaya ngayal-andupara, nguber kaendahane Jodhog-layung ing wayah surup Sandyakala.

Kakek Kie Seng Dhang ngasta pemrentahan Banjar (=desa gedhe) Tanjungputri genep 30 taun, yoswa 90 taun wis wiwit loyo lan ngrasa wegah; pamrentahan nuli dipasrahake Putri Nie Rah Kie kanthi diwakili garwane yakuwi: Bandhol Hang Lhe Lesy kepala Pelaut pesisir Pandhangan sapengidul. Bareng Putri Nie Rah Kie nyekel pangwasa Banjar Tanjungputri, bandhol Hang Lhe Lesy nggawe pranatan Pemrentahan: Sang Putri Nie Rah Kie dikeker dipingit sajrone Tamansari Kedhaton, ora ana wong lanang sing kena meruhi ragane (praupan lan blegere) Sang Putri; kejaba garwane lan putra-putrine sarta para Emban. Undhang-undhang pranatan Pemrentahan didhawuhake saka Kaputren kedhaton Tanjungputri Kraga (=ngeker raga=kerraga=keraga; saiki dadi Kragan) liwat Emban-keparak; nuli diterusake ning Nayakapraja-priya.

Sawise Kie Seng Dhang seda layone ditunu, awu layone dikubur sacedhake Tuk/ sumberan lan didodoki tetenger watu mecongol diayomi wit Wringin-Brahmastana. Minangka Leluhur (=Dhanhyang) sing cakalbakal desa kono, mula asmane Kie Seng Dhang dipepundhi Trah tedhak turune lan kawula-rakyate; panjenengane minangka Dhanhyang Pundhen kanthi dipengeti tembung “Tuk” ning kabeh desa diganti tembung Sendhang. Ngapek saka tembung Seng Dhang (Yakuwi: Sendhangmulya, Sendhangwaru, Sendanggayam, lan liya-liyane).

Reliqe (200 taun durung Masehi) dirawati dipepetri Trah tedhak turune digawa ning negara liya digawe tumbal dipendhem ning Taman Pundhen Agung. Wong-wong Tanjungputri yen mati layone ditunu ning gisik Pandhangan, awu-layone dilarung dikelemake ning segara. Asmane suwargi Putri Nie Rah Kie disungging dening tukang Patung wujud Reca-emas didokok ning candhi gunung Tunggul.

Pamrentahan Kraga Tanjungputri klakon madeg nganti pirang-pirang turunan ora ana sambekala, saben ganti Pemimpin mesthi milih Putri kang Witjaksana trah-tedhak turune Putri Nie Rah Kie; lan uga ngeker-raga ning Taman Kedhaton Tanjungputri. Wong-wong Jawa Kraga kuwi uripe wis padha seneng-ayem, sebab padha cepak rejekine sembada sandang pangan lan bale-pomahane, sarta pada tetep ngrungkebi ngluhurake Tata Budidaya Suci Jawa Hwuning.

SIGEG

Nalika jamane wong-wong Sampit ngumbara ngungsi pindhah ning bumi Nusa Kendheng Ngargapura, iwak Pesut (=iwak Lodhan Bengawan Sampit sing lulut karo Menusa) akeh sing padha melu atut pindah ngumbara; amnggon ning segara Teluk sakidul wetane Gunung Ngargapura, sing wasana Teluk mau mbanjur karan dadi Teluk Lodhan. Nalika jaman semana gisike Teluk Lodhan mau sepi mamring tidhem-premanem durung kejamah menusa; sing manggon bumi Teluk kono mau mung sarupane mauk-segara lan manuk-alas; sarta penyu lan bulus sing arep padha ngendog. Kadhang kala ana Jawi (=bantheng wadon) alas-kono, karo pedhete pada dhede klekaran ning pawedhen ngangetake awak; lawas-lawas Jawi karo iwak Lodhan kuwi padha kawong bisa urip rukun ning gisik kono. Babon iwak Lodhan yen arep manak saben dina nyrondholi nyurungi ganggeng-sangu sing tuwuh anjrah pating krembyah ning segara Teluk kono diunggahake ning gisik; ganggeng-sangu ning ngumbruk ning kono nuli dipangan Jawi sing nedhenge lagi nyusoni pedhete, ndadekake awake krasa seger susune mangkah-mangkah. Bareng babon Pesut krasa arep nglairake nuli nglangi mlumah sarta ngambang, Duplonge (=bayi Pesut) lahiir krogal-krogel ambegan nyerot hawa tumumpang ning wetenge biyunge; Dhuplong kuwi sawise bisa nglangi nuli munggah gisik kanthi gampang ora kesrimpet sangu sing pating krembyah; duplong kuwi arep dhedhe ngangetake awak. Bareng mambu gandane susu Jawi nuli krogal-krogel marani babon Jawi sing lagi nglekar nuli ndesel-ndesel ngenyut susu sing mangkah-mangkah kuwi. Babon Jawi ora kaget mandar aring sarta ndilati Dhuplong sing isih gupak banyu ari-ari; sanalika pedhet Jawi mandar nggeblas lunga lan gebres-gebres sabab mambu gandane ari-ari dhuplong, nuli nyingkir marani sangu nyengguti pupuse sing isih enom-enom. Bareng si Dhuplong wis wareg nggone nyusu nuli kosal-kosel marani biyunge sing isih nunggoni ning banyunan segara.

Pesut sing padha bebarengan ngumbara ngalih manggon Telok Lodhan kono mau sasuwene 130 taun, wis padha nak-kumanak tangkar-tumangkar uripe padha jenak-aring kumpul kambi kewan rupa-rupa ning teluk kono. Karo wong Kraga Tanjungputri sing pinuju ning segara, pesut-pesut mau mandar isih wani nyedhak sarta lulut nyrondol-nyrondol.

Wong Jawa Kraga yen luru pangan ora gelem nglanjak tutug Teluk Lodhan sing dienggoni Pesut lan Bantheng sing padha urip rukun mengkono mau, apa maneh ngganggu utawa mateni kewan loro kuwi; wong Jawa mandar sirik lan wedi banget ning pamanti-wantine Dhanhyang luluhur: “Anak-putu Kraga aja nganti sing munasika Pesut lan Jawi kuwi, apa maneh nganti mateni.” Wong jawa tedhak turune wong Sampit mau sasuwene 130 taun uga wis padha bebranahan sumebar sepegunungan Ngargapura, dedunung gegobrolan-gegrombolan sagotrah-krandahe. Nalika semana wong Jawa mau wis padha ingon-ingon wedhus-kacangan entuke saka mbasangi cempe-alasan, diipuk-ipuk digemateni dicancang ning cagak amben, kumpul sajromah karo menusa. Bareng wis dadi wedhus bisa lulud nganti nak-kumanak bebranahan, wedhus-wedhus kuwi dikandhangi ning karasan dikilung bethek sarta dicepaki rambanan; rina wengi dijaga asu-gladhak sing wis pomah lan mendara. Wong-wong pomahan nggone nduwe pikiran ngingu wedhus ngono kuwi, perlune yen nduwe gawe butuh masak daging kanggo lawuh-nyomok ora ndadak nunggu dhisik ajag kewan ning alas. Asu-gladhak sing wis ewonan taun urip kumpul karo menusa dijak ajag, njaga omah njaga rumangkang lan rewang gawe liyane mandar mung diumbar turu ning latar ngringkel utawa ning emper-gandhok.

Sasuwene wong Jawa lan iwak-Lodhan (Pesut-pesut) kuwi dedunung neng bumi Ngargapura wis 130 taun (Taun Jawa-Hwuning wis taun 130 = Tahun Masehi durung ana), wektu kuwi ana wong neneka pindhahan saka Nusa Tempabesi ndharat ning Tanah Jawi pongol Lodhan segara kening, bebadra bubak bumi alas Pung cikalbakal nggawe desa urut pesisir sawetane Teluk Lodhan; desa mau karan desa Sampung. Wong neneka kuwi wis akeh sing pinter nggawe prau-gedhe, cekung dhasare awak-prau lan anthok-cocoke sing digawe saka kayu-pung sing kuwat krendhem banyu asing (Ing jaman saiki tedhak-turune wong-wong mau padha dadi wong ahli nggawe prau ing Desa Bulu, Kecamatan Bulu, kabupaten Tuban). Liya kuwi wong-wong mau uga pinter nenukang maneka-warna; dadi Undhagi tukang kayu, Pandhe tukang wesi, Gemblak tukang kuningan, Sayang tukang temnbaga, Kundhi tukang grabah lan Jlagra tukang umpak-watu sakane omah; tata-pakaryane wong-wong mau aran Kabudayan Sampung.

Kanggo njembarake papan panggonane, wong-wong mau padha nekad ngrambah alas nglanjak bumi Teluk Lodhan. Wong saka Nusa Tempabesi kuwi Kapercayan/Agamane ngadhep-manembah ning Dewa Srengenge/Geni, dewa Samodra/Banyu, dewa Angkasa/Angin, dewa Bumi/Naga Ijo. Wong-wong kuwi ora sirik mangan daging Bantheng lan iwak Pesut; nggone nglanjak bumi Lodhan kuwi mandar ngrasa luwih kebeneran sabab bisa mbebedag-ajag lan misaya iwak kanthi sakatoge. Kang mengkono mau ndadekake kewan-kewan kang biyene padha urip tentrem aring malih dadi kobrak giris kesid; temahan padha minggat sumebar saparan-paran. Pesut lan Bantheng mau padha minggat sumebar mengidul nyabrang segara tumuju ning bumi Nusa Kendheng Kidul, sing alase isih lebeng ketel gung liwang-liwung durung dijamah menusa; segarane cethek ombake lindhuk akeh iwake cilik-cilik maneka warna, ndadekake jenake Pesut-pesut mau gampang oleh pangan. Grombolane Bantheng liyane ana sing terus ngumbara ngidul-ngetan nyabrang segara Supitan-Kamput, nuli terus munggah ning alas-alas gerotan Pegunungan Brahma-Mahameru sapengetan tutug alas gerotan Pegunungan Raung (Saurute Bengawan Brantas dhek Jaman-Jamajuja isih wujud Segara-selat kang ngilung Gunung Kawi, kamput, Ajar-smara, lan Penanggungan.

Desa Sampung sawise madeg 75 taun ngalami kertaharja, wonge padha berag-berag omahe panggungan bebanjengan saurute pesisir, praune mangkal jejer-jejer mengulon tutug Teluk Lodhan. Sasuwene 75 taun kuwi wong-wong Sampung mau wis akeh sing padha sambung srawung karo wong Kraga-Tanjungputri, mandar wis akeh sing padha campur jodhon sesilangan. Kabisane gegaweyan wong Sampung padha ditulad wong-wong Kraga. Sabalike Kapercayan-suci Hwuning lan Kabudayan wong Jawa Kraga-Tanjungputri padha ditulad wong Sampung, sebab ragade Upacara-Hwuning luwih entheng lan irid; ilmune luwih blag-blagan Kanyatan gampang. Beda karo Agama-kapercayaane wong Sampung kang sarwa andupara khayal, ilmune rumit ruwed pujamantrane dawa ngalur-alur ndrememel ngeselake; ragade Tata-Upacara akeh bange, sajene ngambrah-ambrah. Kang mengkono mau ndadekake wong-wong Sampung padha bosen, wekasane mbanjur malih seneng ngalih ganti ngrungkepi kapercayan-suci Hwuning, cawuh luluh karo kabudayan Jawa Kraga Tanjungputri; mandar mbanjur gemang ngakoni aran wong Sampung-Tempabesi maneh, malih ngaku dadi wong Jawa-Sampung.

Ing taun Jawa Hwuning 205, wong-wong Jawa-Sampung wis akeh sing padha misah maneh, bebadra sumebar ngidul-ngetan butuh panggonan sing luwih subur loh jinawi ning bumi Nusa Mahameru; srana nyabrang Segara-supitan Kamput kang jembar lerab-lerab wiwit Teluk-Popoh mengalor; mberemane Segara-supitan dadi rawa bening lan rawa Gesikan terus mengalor ngliwati Tulungagung, Kedhiri lan Kertasana; tutug Megaluh (Jombang) tumlaweng menggok ngetan ngliwati Plosso tutug Teluk-Tarik anjog segara Medunten. Bumi Nusa Mahameru sapengetan tutug Pegunungan Raung mau diganti aran dijenengake Nusa Jawa-Pegon, wonge uga karan wong Jawa-Pegon.

Ing taun Jawa-Hwuning 205 kuwi wong Jawa Kraga sakwise Pitung-turunan (Anak, putu, buyut, canggah, wareng, udheg-udheg, gantung, siwur) wiwit saka Putri Nie Rah Kie, cacah jiwane wong kono mau wis dadi akeh banget; mandar omahe wong Pandhangan tutug Narukan wis jejel riyel. Mulane wong-wong mau banjur padha misah tertruka ning bumi sengkaning-gunung saurute Pegunungan Ngargapura kang lelowahe subur banget kethukulan pring-ori dhedapuran bunge nrecel riyel. Ring ilen-ilen banyu kang muleg-muleg selane watu-watu akeh iwake-jambrung pating sriwed nyisili lumute watu.

Semono uga wong-wong Trah-tedhake Putri Nie Rah Kie krandhan gisik uga melu pindhah bebadra; sarehne wis kulina urip ning bumi Belahan mula gemang melu tertruka ning bumi sengkaning-gunung, milih panggonan sing nyangkleg segara yakuwi ning perenge Gunung Ngargapurasing sisih lor (Kecamatan Sluke) kang ngungkurake juran jero lan rungkud; desa kuwi disenengake: Terahan (Trah = tedhake Putri Nie Rah Kie). Bumi sing banthak wujud gisik mawa Teluk kanggo mangkal prau-prau manca sing padha mampir arep ngapek banyu omben, mbanjur katelah aran desa Pangkalan.

Wanita Terahan lan Pangkalan kuwi misuwur akeh sing manis-ayu, sarta isih padha nerusake naluri Adatcarane Wanita Leluhure ing Tanjungputri; wanita-wanita mau padha seneng nandur wis kembang Melathi kembange kanggo ngrengga raga yen dhong nekani Pahargyan, yakuwi nganggo cundhuk Melathi-sisir nyisip nglaweng ning gelungan, sesumping Melathi-ronyok, kalung ronce gegombyok kembang Kanthil; dene pedinane saben rampung reresik-awak mesthi cundhukan kembang Melathi kuwi. Tumrap wong-wong Priya kanggo renggan Omcen-oncen Surengpati dikalungake ning mendahake Keris. Yen pinuju dina Suci kanggo sawur-nyadran ning kubure Sembok-Semak, uga ning Pundhen-Leluhur Nyai Dhanhyang/Kaki Dhanhyang sing cakalbakal desa; disajeni ubarampe sajen sapepake lan karangan kembang Melathi sarta kutug dupa pratus-wangi.

Tutug jaman-saiki para Wanita Wirya Wicaksana sing rumasa isih Trah-tedhak Tanjungputri senajan dedunung ning negara kana-kana, senajan sauwit-wong uwit para Wanita mau isih merlokake nandur kembang Melathi; utawa ngrengga sarira ngagem kembang kang ngresepake-ati kuwi. Minagka sarat ngluhurake drajad, sarta mengeti memundhi asmane Putri Leluhure, yakuwi Putri Nie Rah Kie, Dattsu Dewi Sibah, sarta Maharani Bre Lasem I Dewi Indu Purnamawulan; lan Putri-puri Kriyan putra Eyang Mpu Guru Pr. Santibadra. (Suwargi putri Cempa Bie Nang Tie lan putri Malokhah uga sengsem melu ngagem kembang Melathi kuwi). Uga Raden Adjeng Kartini.

SIGEG

III. Jaman KUNA-KOBRA (Ing taun Jawa-Hwuning: 230 Masehi: 1)

Kacarita ing sawijining bengi nalikane wong-wong Pambelah Pandhangan lagi padha jejagongan ning gisik kang ngilak-ilak, padha omong-omong nyatur. Kawitane nggone ndarat Leluhure ning gisik bumi Pandhangan kono kuwi dietung-etung wis ana 10 = sepuluh turunan.

Ketitik neng blandar-tongciet dalem Pedhanyangan Tanjungputri ana toletan-enjet 230 dulit (=1 dulit = pendhak Labuh = 1 taun); toletan kuwi minangka papeling nggone ndarat Leluhure lawase wis ana 230 pendhak mangsa labuh (=230 taun). Nggone ngetung 10 tutunan kuwi wiwit saka Dhanhyang Kie Seng Dhang. Nalika padha jejagongan kuwi dumadakan wong-wong mau padha kaget sebab weruh Kaelokan: Ning langit tencebing cakrawala sisih lor-kulon ana sorote Lintang-kemukus nglandeng sumorod ngidul-ngetan, ngliwati sandhuwure segara Jawa lan segara Kening.

Wayah esuke wong-wong padha umyeg nyatur wahanane Lintang-kemukus mau; ana wong sing nyarawidekake ning Nujum sing waskitha, wedhar wasitane: “Neng Bawana negara Maghribi rajane lagi nglumpukake Kawulane mlebu ning kutha, perlu diwilang cacah-jiwane. Ana kang sejodho, sing lanang pagaweyane tukang-undhagi; sing wadon lagi ngandheg tuwa, wong mau ora keduman pondhokan mung entuk panggonan kandhang wedhus pinggir desa. Dumadakan ning kandhang kono wong wadon mau mbabarake jabang-bayi lanang; wecane Sang Nujum: “Besuk jabang-bayi kuwi yen wis diwasa bakal dadi Raja Binanthara-nyakrawati, nanging ora kagungan Keraton ora tau pinarak dhampar-kencana, ora kagungan prajurit kang asikep gegaman perang; nelukake musuh ora kanthi merangi lan milara, mung kanthi Perbawa (Ambek asih pari-tesnane). Gesange ora kagungan Wibawa (Kamulyan sugih rajabrana), mung nyandhang sapala kandhang langit kemul mega ngumbara ndlajah desa milangkori, medhar Wasita “Begja Rahayu”. Wong-wong Pambelah mengeng nggagas wahanane weca sing aneh banget ngono kuwi. Let seminggu sawise wong-wong Kraga padha weruh Kaelokan ngono mau, wong Sampung akeh sing padha ngimpi; rumangsane akeh iwak Pesut-Lodhan lan Bantheng padha ngamuk liwung ngrusak Banjar Sampung ngebrukake omah lan nguber-uber wong padha dipateni.

Ora gantalan dina sawijining bengi angler-anglere wong padha turu dumadakan ana prahara gedhe; angin sindhung-riwut segara Jawa lan segara kening kaya dilebur, alun gedhe gumulung nglanjak dharatan lan Teluk Lodhan; perenge Gunung Ngarga sisih wetan padha longsor. Thukule prahara gedhe ngono kuwi sabab Gunung Agung Sengkapura njeblug (Ing taun Jawa-Hwuning 230 = Masehi 1). Pulo Baweyan Sengkapura sirna separo, mblabare blegedaba muncrate lumpur-panas lan watu-watu mengangah kontal ning angkasa, sarta udan awu sumebar tutug ngendi-ngendi ngurugi Segara Jawa. Teluk Lodhan malih dadi dharatan Kragan, Sarang, Sedhan (Kabupaten Rembang). Segara Kening malih dadi dharatan Pesisir Lor Kabupaten Tuban. Ing sisih kidul nyisa mberemake kali-gedhe (Bengawan Solo) wiwit Kradenan ngglendheng mengalor tutug Cepu, nuli mbelok mengetan dadi bengawan Kethek; mbanjur amber dadi rawa Widhang tutug bumi-embet Pangkah/ Sidayu, iline muntah ning Segara-supitan Medunten.

In taun Masehi: 50 dharatan tilase Segara mau wis malih dadi alas-bebondhotan kaselanan palakirna warna-warna. Wong-wong Tanjungputri salore Ngargapura wiwit padha wani lan seneng bebadra bubak desa ning Pesisir-lor Segara kening, sing bumine sela-selane watu-gamping tutug tepise segara padha ngetuk, mbrubul banyune tawa bening nyarong. Bumi bubakan mau dijenengake, desa Mituk (Saiki dadi desa Beti = Bektiharjo).

Ing taun Masehi: 100, desa Mituk kuwi wis dadi Banjar gedhe mbanjeng mengalor ngliwati bumi pagenengan sing lemahe warna Kuning semu Abang; sarehne wis dadi Banjar gedhe tur nyangkleg segara, para Pambelah/ Nelayan nggawe plabuhan ning pesisire; plabuhan kuwi dadi bantarane para Pelaut/ Pedagang saka manca negara, padha gancol sarupane barang-kebutuhan bisa tinemu ning pasar Mituk kono. Misuwure ning negara-manca, banjar kuwi ora diarani banjar Mituk, nanging diarani banjar: Sitijenar. Wong-wong saka Tanjungputri Jawa-Hwuning kang cacah jiwane luwih akeh, padha saeka-praya ngangkat sawijining wong Wegig Wiled Trah-tedhak Tanjungputri, asmane Hang Tsu Hwan, diwisudha dadi Dhatu (kepala Adat) banjar Sitijenar. Nalika pamisudhan dikepkyakake, Dhatu Hang Tsu Hwan ngundhangake ning para Sumewa; papan Pasawuwan-agung mau didadekake punjere kutha Sitijenar, dijenengake Kutha Begja-Agung (ucape umum salah-kaprah ngarani Bejagung).

In taun masehi: 107, Dhatu Hang Tsu Hwan wis bisa ngirup Banjar-banjar pesisir-lor tanah Jawa, kutha Begja-Agung nuli didadekake punjer Pangesuhe banjar-banjar mau; dijenengake Negara Jawa Purwa. Wiwit jaman pamrentahan Hang Tsu Hwan wong-wong Nusa Jawa-Pegon kuwi wis akeh sing padha nggrancol ning Banjar Sitijenar, pangesthine Nusa Jawa-Pegon kuwi supaya luluh dadi siji karo negarane Dhatu Hang Tsu Hwan (Nggone ngarani ngaub pangwasane Dhatu Hang Tu-Ban = pamrentah Tuban.

SIGEG.

IV. Jaman JAWA-DWIPA (JAWA-Pegon lan JAWA-Purwa)

Ing taun Masehi: 110, bumi Jawa-Pegon kuwi dihoregake Lindhu prakempa marambah-rambah asale saka Gunung Kamput; gunung kang ngongkang Segara-supitan Kamput padha horeg ngengkrog-engkrog sora banget, bregad-gedhe pada rungkat rubuh pating slayah; perenge gunung-gunung pada longsor nglongsori Segara-supitan Kamput. Liya dina kawuwuhan Gunung Kamput njeblug ngetokake blegedaba bulah-bulah mawalikan mblabar ning Segara-supitan; udan awu sumebar tutug ngendi-endi. Wong-wong Sitijenar nyawang langit peteng kaya kesaput mendhung ngendhanu ngono kuwi padha miris banget, ora ana wani metu saka ngomah sabab bledug-awu ngampak-ampak mlepegi napas, godhong gedhang padha sengkleh kabotan awu nemplek nglapis lumahe.

Bareng wis klakon setaun kaanan sing mengkono mau wis sirep tidhem, Segara-supitan Kamput katon malih dadi ciyut kali sapralimane, ganti wujud dadi bengawan ambane bisa disabrangi nganggo gethek-gedebog; wong-wong menehi aran: Kali Brantas (Nalika Taun Masehi: 111).

Wong-wong Nusa pegon sangsaya wuwuh adrenge nggone nedya manunggalake negarane karo negara Jawa-Purwa, mula nuli padha usul ning Dhatu Hang Tsu Hwan. Saka kawicaksanane Sang Dhatu pamonthane wong-wong kuwi enggal dileksanani, kanthi disekseni wong-wong saka negara liya, Gembleng cawuh manunggale negara Jawa-Pegon karo Jawa Purwa (P = (aksara Jawa) = loro) dijenengake: Nusa Jawa-Dwipa. Nalika taun Masehi 115.

In taun Masehi: 385, wong-wong banjar Terahan sing cacah jiwane wis padhet, padha lunga misah bebadra cakalbakal ning bumi Argasoka, yakuwi perenge Gunung Ngargapura sing sisih kulon; papane ngongkang Segara-teluk, sing sisih lor kadhangan Punthuk Ngendhen, Kecamatan Lasem. Segara-teluk kuwi mbanjeng mengetan nuli mbelok mengidul urut perenge Pegunungan Argasoka, ning pepereng pegunungan kono kuwi akeh wite Pucang lan Resula blukange warnane kuning-gadhing tuwuh nggenggeng ledhung-ledhung. Saka bumi bubakan kono yen nyawang mengulon katon Pulo Maura dikilung segara, pulo kuwi wujud gunung-gedhe masung pucake mawa kawah-geni ngetokake kukus kumebul nglandeng ning langit; ing sisih kidule katon benggang karo pegunungan Sukalila-Prawata keledan Segara supitan Maura. Wong-wong bebadra kuwi dipangarsani kanoman umur 35 taun asmane Hang Sam Badra, sawijining Klana kang adoh tebane ning Sabrang lan Negara kana-kana. Mula kuwi dening wong-wong bebadra mau mbanjur ngangkat dheweke diwisudha dadi Dhatu ning kono; bumi cakalbakal kuwi katelah aran Pucangsula (Saiki tilase dadi desa Logadhing-Sriamba, Kecamatan Lasem). Sawise desa kono madeg 15 taun malih dadi Banjar-gedhe sebab akeh wong neneka saka negara Sabrang melu bebadra ning kono; wong-wong manca mau sawise kumpul srawung karo wong Pucangsula, temahan padha malih ganti seneng ngrungkepi Kapercayan-Suci Hwuning lan Budibudaya Jawa, wekasane mbanjur luluh dadi wong Jawa-Dwipa.

Wiwit bebadra dadi Wong Jawa ning Tanjungputri ing taun Jawa-Hwuning: 1 nganti bebranahan mencar sumebar sepegunungan Kendheng Ngargapura suwene wis 617 taun, durung ana wong Wegig gong Wicaksana mulangake medhar Larasing Kapercayan-suci Hwuning. Wong-wong nggone ngrungkepi ngedhep/ manembah Hyang Tata Maha Das kuwi yaa mung atut-grubyug kaprah lumrahe wong akeh padha krukunan nindakake Tatacara susilatama lan setya ning Negara. Lagi jaman madege banjar Pucangsula kuwi Kapercayan-suci Hwuning bisa dingerteni/diwikani dilelaras

dening para Wegig, para Pandhita; saka leladi pangastutine Panembahan Guru Dhatu hang Sam Badra kang merlokake nyambi mulang para Kasepuhan Kanung (=sengkaning gunung); ing taun Masehi: 387, manggon ning Pasraman punthuk Punggur Gunung Tapa’an (Desa Warugunung, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang).

Ing taun Masehi: 390, Dhatu Hang Sam Bandra nggawe plabuhan lan galangan-prau (=dhak-palwa) ning Sunglon Bugel utowo Gunung Bugel (Tilase saiki dadi pategalan lan kali aran Palwadhak; sakidule desa Tulis, Kecamatan Lasem). Prau-prau kuwi kanggo sesambungan Pemrentahan Pucangsula karo Banjar-banjar wilayahe saurute pesisir Jawa (Pantura), wiwit banjar-Losari teluk-Tanjung (Kabupaten Brebes), mengetan tutug banjar-Rabwan (Kabupaten Batang) lan Banjar-Tugu (Kabupaten Semarang), nuli banjar Purwata lan banjar-Tanjungmaja (Kabupaten Kudus), gisike pulo Maura sisih wetan yakuwi banjar-Tayu lan banjar-Blengon (Kecamatan Kelet, Kabupaten Jepara). Plabuan Pucangsula dumunung saelore galangan prau digawekake Gapura madhep mengulon ngadhepake Segara-teluk Kendheng (Saiki dadi desa Gepura) saka gapura kono digawekake ratan ndladag urut urut perenge Pegunungan Argasoka tutug punjere kutha Pucangsula.

Pangwasane Dhatu Hang Sam Badra dibantu Putra-putrine isih kenya yoswa 22 taun, rupane ayu banget pindha Widadari Wilutama; asmane Dewi Sie Bah Ha (=Sibah); sang Dewi ngasta pangwasa Angkatan Laut Segara Jawa-Dwipa kanthi kekuwatan Kapal-perang sing prajurite dumadi saka wong-wong kang kenthug kuwat lan pinter ulah kridhane perang, kanthi sikeb gegaman kang ampuh mawa racun-aneh; negara liya ora ana sing duwe lan ara ana sing bisa nggawe. Sang Dewi melu nylirani lelayaran ning samodra kanthi nitih Kapal-gedhe kang mligi dinayakani prajurit Wanita sing wanter lan kendel, uga sikeb gegaman kang mawa racun wujud Tulup-paser sing bisa nylorod adoh; sarta patrem-Tubrem yen disawatake musuh lamun mlesed, patrem mau bisa munyer bali maneh niba sacedhake sing nyawatake (Kaya bumerang). Wondene juru-mudhine sarta tukang welahe Kapal-kaputren mau wong lanang kang kuwat lan bandhol, nanging dipilih wong sing Peloh lan wis ilang prasa-Asmarane. Mula negara manca mau padha wedi lan sungkan ning Dewe Sibah lan negara Pucangsula.

Sang Dewi nggone ngwasani segara Jawa-Dwipa kanthi nggunakake kapal-perang kuwi perlu nganggo nglabrag nyirnakake Bajag-bajag kang gumendhung lan kumendel sing mung nggunakake prau-prau knothing sarta gaman pedhang lan clengkreng, dumeh praune bisa cukat rikat kanggo ngoyak prau-prau dagang memangsane utawa ndarat mrawasa Desa.

Bajag-bajag sing nggawe werid rengkede Segara-supitan Medunten kuwi wekasane sirna sa-Benggol-benggole lan sasudhunge. Wasana pesisir Segara Jawa-Pegon sisih wetan mau dadi tidhem lerem, banjar-banjar bisa bali madeg kanthi tata-tentrem sarta bisa sesambungan karo Pemrentahan Pucangsula.

Putri Sibah saliyane nyirnakake Bajag-bajag, merlokake narik Upeti ning kapal-kapal dagang kang liwat segara Jawa; isine kapal sing rupa beras lan pari sarta sembet-tenun cita-sutra uga gaman-pertukangan, ditarik upeti sapra-limane; sing gemang mbayar mesthi dilabrag ditelukake kapale dibeskup. Nakodha kapal sing rupane bagus utawa penumpang sing bagus mesthi ditawan dilebokake kamar-kamar Kaputren. Kawegigan lan Kaprawirane wong-wong bagus mau didadar dening Sang Dewi; yen bisa lulus pendadarane sarta bisa ngalahake kasektene Dewi Sibah rila dadi jatukramane. Sabalike yen kawitan didadar Kawegigan wis ora lulus, wong tawanan kuwi nuli diwetokake saka kamar pendadaran dipasrahake Nayaka-wanita kapal Kaputren; mangsa borong digawe apa kono. Ora nganti sesasi neng kamar-tawanan pangwasane Nayaka wanita mau, awake wong-bagus tawanan kuwi malih rusak ora kuwat ngglawat; wekasane nuli dijegurake samodra dadi mangsane iwak Undhuk-undhuk-gedhe kang rakus banget. Misuwure jare digawe sajen Ratune Jim Dhuyung-jaran, sing nguwasani Samodra Jawa-Purwa. Mula kuwi kapal dagang sing liwat segara Jawa gamang nggunakake Nakodha sing bagus rupane; dene wong bagus penumpang sing wani nekad mati-mati yen wis ngerti rasane ngalami nyatane, yaa sumangga mangsa borong!!! Asmane Dewi Sibah nganti kaloka ning negara Sabrang kana-kana, sang Dewi nganti diparabi: Mani Dattsu Asva Dev, tegese Mustjikane Dewi-bajag Dhuyung-jaran.

Wong-wong tanah Jawa wiwit jaman Kuna-makuna mula sing mung kulina mangan sega-jagung, sega-canthel, lan rupa-rupa palapendhem, sawise ngenal Pari lan mangan Sega-beras olehe narik upeti saka wong dagang negara Siyem lan Cempa lembah Bengawan Mekong, sang Dewi Sibah nuli mrentahake lan nyontoni wong-wong wadon Pucangsula diajak wiwit nandur pari lan adang sega-beras (wiwit taun Masehi 396), wiwi jaman kuwi wong-wong Jawa padha nganggep Dewi Sibah kuwi titise Widadari-pangan utawa Dewine Pari, iya Mbok Dewi Sri (Wong Sunda ngarani: Sang Hyang Seri). Uga ing sajrone taun 396 kuwi, ing sawijining dina kapale Dattsu Dewi Sibah dhog mangkal ning gisike Nusa Jawa-Dwipa bontos kulon wates gisike Negara liya bontos wetan, dumadakan ana wong bagus isih enom menganggo ciri Rsi marani kapale sang Dewi; wong kuwi nuli ditakoni Nayaka kapal Kaputren:

“Ana wigati apa? Asmane sapa? Saka ngendi pinangkane?”

Jawabe Rsi bagus:

“Perlu arep nunut ning Nusa Jawa-Dwipa, nedya mulang nyebar Agama Hindhu Shiwa. Asma: Rsi Agastya Kumbayani. Asal saka negara Menak, krajan Idriya-Satwamayu.”

Sang Rsi ditampa diwenehi panggonan ning senthong-tamu Kapal Kaputren; sawise kapal-kapale Dattsu Dewi Sibah mancal bali ning Nusa Jawa, Rsi Agastya nuli didadar Kawegigan sakehing ilmu dening Sang Dewi; sajroning telung dina bisa lulus. Nuli ganti didadar Kasektene lan Kaprawirane perang, jebule Sri Dattsu sing mandar kasoran nganti lemes daya kakuwatane; saking ngrasa wirang Dewi Sibah munthab bramantya mawinga-winga, nuli ngunus Curiga-racun kang bisa nggawe pati kanggo mungkasi pendadaran.

Sapandurat Dattsu-ayu nyawang praupan baguse sang Rsi netrane sing mulem-tajem, polatane tetep sumeh jatmika ora nggragap ora miris nyawang landhepe curiga; uga ora males bramantya sumringah ngangah-angah, mandar sorote netrane kang aliyep-asmara nrawung nembus jantunge Sang dewi; ndadekake panone Sang Dewi sumrepet peteng kantaka, raga lemes niba ning jrambah palagan; curiga gogrog uwal saka astane. Sang Rsi trengginas nyaut Sang dewi dibopong disarekake ning tilamrum; bareng Sri Dattsu punggun-punggun wungu marlupa, Sang Rsi nglelipur ngrerapu sarta nyepat-domba nagih janji sayembarane, nanging dileksanani yen wis tutug dalem kedhaton Pucangsula disekseni Rama-Ibu sarta para kadang kadeyan kawula-dasih.

Para Kenya Nayaka kapal kaputren padha rerasan ngungun banget, adat saben lagi telung dina wae wong Bagus-tawanan wis mesthi diwetokake dipasrahake ning Nayaka Putri; nanging wektu kuwi nganti pitung-dina pitung-bengi tawanan Rsi Bagus kuwi kok ora diwetok-wetokake; weruh-weruh jebul kapale wis padha labuh ning Pucangsula, Sang Dewi Dattsu wis runtung-runtung sekalihan karo Rsi Agastya tumuju ning Kedhaton dipethuk Rama Ibune. Dhatu Hang Sambadra sakulawargane padha mengayu-bagya karenan ing galih, dene Sang Putri wis entuk calok jatukrama isih enom bagus rupane tur sembada sakabehane. Pahargyan palakraman let telung dina nuli dikepyakake. Sang Rsi cumondhok kumpul Maratuwa nganti rong taun, mandar Dewi Sibah lagi karo-tengah pendhak wis ngemban mutra kakung, diparingi asma: Arya Asvendra. Rsi Agastya nggone arep mulangake Agama Hindhu Shiwa Maha-Dewa nedya diterusake dhasar Maratuwane maringi panggonan ning bumi Rabwan tutug Batur. Nanging sawise klebon ilmu Kapramanan Jawa-Hwuning saka Maratuwa lan saka Garwane, pikire arep mulangake Agama Hidhu Shiwa Maha-Dewa malih luntur; nedya diganti mulangake Agama Hindhu Shiwa Guru-Dewa, mikani Dhiri-pribadi lan jantraning dumadi; sarta pangastuti bekti ning Sembok-Semak.

In taun: 412 Masehi ana Klana Sramana Agama Buddha asama: Pha Hie Yen lelayar saka Nalandha India, nedya bali mulih ning Tsang-An (Tiongkok); dumadakan lagi tutug Samodra Jawa-Dwipa ana angin topan gedhe, praune nuli mangkal ning plabuhan Pucangsula nyuwun tulung lereb ning kono sasuwene angin prahara durung sirep; Sramana Hwesio Pha Hie Yen ditampa disesuba dening Dhatu Hang Sambadra, saben dina diajak wawan-sabda bab rupa-rupa pengalamane Sang Hwesio nggone lelana ning manca-negara. Hwesio Pha Hie yen nyritakake Piwulange Sang Guru Agung Sidharta Buddha Gotama, yakuwi: Sranane bisa manjing Nirwana supaya medhot blenggune kadonyan; kanthi liwat laku kang aran: Astha Arya Marga, tegese Laku Agung Wolu. Piwulang kuwi mirib Kapercayan-suci Jawa-Hwuning kang dirungkepi dening Pendhita-pendhita siswane Dhatu Hang Sambadra wong saka sengkaning-gunung, yakuwi: Sranane bisa nggayuh Katentreman supaya medhot Pangangsa-Pepenginan; kanthi liwat laku kang aran: Endriya pra Astha, tegese Tumemen ning Budipakarti Wolu. Mula Dhatu Hang Sambadra karo rayine Pandhita Jana-Bandra sayuk banget nggathukake intisarine piwulange Sang Buddha kuwi cawuh-luluh karo larase Kapramanan Jawa-Hwuning.

Ing taun Masehi: 415, Dhatu Hang Sambadra seleh kedhaton, pemrentahan Pucangsula dipasrahake Dewi Sibah diwisudha ditetepake dadi Dattsu-agung (=Prabu-putri). Rsi Agastya dadi Kepala banjar Rabwan lan banjar Batur tutug Pegunungan Dieng, kebawah negara Pucangsula, uga adhike Dewi Sibah asma: Dewi Sie Mah Ha (=Simah), kang dadi Adipati-anom Medhangkamulaan teluk Lusi (kabupaten Blora) diwisudha diangkat dadi Dattsu, dipindah ning banjae-gedhe Blengoh didadekake Keraton keling (Arane woh-bogor wadon sing wis tuwa-alot, yen isih enom diarani Siwalan). Saiki tilase dadi ara-ara Keratonan desa Blengoh, Kecamatan Keled, Kabupaten Jepara. Pangwasane Dattsu Simah diwarangkani kakunge aasma: hang Saburadhampuawang Segara Teluk Kendheng lan samodra Jawa. Sarta diemong diayomi Rama-paman Bhikku Buddha Kanung Janabadra ing Pasraman Tunahan. Nalika Dewi Sibah wis jumeneng dadi Dattsu Pucangsula, sang Dewi yasa Udhang-undhang tata Budibudaya Jawa Hwuning ditetepake dadi Pranatane negara Pucangsula; saben sesasi sepisan diwulangke ning para Pandhita sengkaning-gunung Kendheng Ngargapura, manggon ning Kedhaton Pucangsula. Undhang-undhang kuwi dijenengake: Endrya pra Astha, ngrungkepi piwulange Ramane nggone nggawe jeneng Ilmu kuwi (Undhang-undhang ditetepake ing taun Masehi: 416). Para Pandhita para Kasepuhan nerusake mulangake Ilmu-pranatan mau ning para Siswane, sumrambah wong-wong kang maju-pikirane ning desa sengkaning-gunung. Ing pemburi taun-taun sabanjure wong-wong kang padha ngrungkebi nyeceb Ilmu Endriya pra Astha kuwi kasebut aran Wong Kanung. Isine Undhang-undhang pranatan kuwi ana 8 (wolung) bab:

Unen-unen Pranatan yakuwi :

1. Tunemen nyambut gawe ngudi rejeki kanggo murakabi Brayate, lan ora srei drengki kemeren ning liyan.
2. Nyembah mundhi-bekti ning wong tuwane-sakloron; sambat nyebut: Adhuh Sembooooook, Gusti kula! (=Sembok kuwi wong sing bagus atine sa-ndonya), Adhuh Semaaaaaak, Pangeran kula! (=Semak/Bapak kuwi pangengerane wong sagotrah anak-bojone).
3. Ngleluri mundhi Pundhen Nyai-Dhanhyang Kaki-Dhanhyang sing cakalbakal desane. Sarta emoh nganggu Manuk-manuk sing padha manggon ning bregat Pundhen, utawa ning bregat-bregat liyane kana-kana.
4. Sayuk rukun karo tangga-teparo lan sadulure, bebarengan gotong-royong ing wulan Purnama Badrapada; bresih desa, ratan, sendhang, karas pekarangan; sarta memetri nguri Bregat (=September).
5. Mangastuti rembugan nggathukake pinemu, kanggo pituduh mbangun majune Desane, lan njaga kaamanane.
6. Nguri-uri ngluhurake Budipakarti Seni-Budaya Jawa.
7. Mikani ning Bumi dununge kabeh Titah kasinungan Sang Urip kang Maha Esa, mikani ning Langit dununge/ manunggale Urip Agung Sang Nyawa kang Maha Das. Wong mati ragane dadi Mayit lebur ing Bumi, Jiwane dadi Yitma nunggal ning Langit.
8. Setya pranatane Negara lan Sabda wasitane Sesepuh Agung Manggala Praja.

Eyang Dhatu Hang Sambadra sawise misudha Putra-putrine nuli nilar praja dadi Sramana dhedhepok ning punggur Gunung Tapa’an, lan mulangake Ilmu Tatapranatan Endrya pra Astha ning para Siswa Wong-wong Kanung. Pasraman Gunung Tapa’an kono digawekake Tamansari tinanduran kembang-kembang maneka-warna: Mlathi, Kanthil, Gadhing, Kenanga, Mawar, Pacar-kuku, Kemuning, Gambir. Neng kono akeh Bregat ngrembuyung edhum, padha dienggoni nusuh manuk-manuk rupa-rupa; pakange bregat kethukulan: Aggrek, simbar lan kece pating grembel. Tarulata padha mrambat pepuletan pating klewer, kembange selang-seling putih biru, jambon lan wungu. Taman-sari kuwi dijenengake: Taman Argasoka; para cantrik, cekel, manguyu padha surti gambyak ngrawati Taman-sari kuwi.

Eyang Panembahan Hang Sambadra dadi Sramana ning Gunung Tapa’an kono tutug sepuh, seda ing taun Masehi: 425. Awu layone dipetak (dikubur) dadi sakluwat karo Reliqe Eyang Dhanhyang Kie Seng Dhang ning satengahe punggur Pudhen Tapa’an; ditengeri Watu-alam tilas pamujane Nini Ampu, watu kuwi nongol sa-ndhuwure gumuk Pundhen. Sawise Eyang Panembahan seda, negara Pucangsula akeh owah-owahan wiwit ing taun Masehi: 426.

1. Dattsu-Agung Dewi Sibah ngangkat putra Arya Asvendra dadi Dhatu-anom Pucangsula, manggon ning bumi Gebang sunglon Bugel. Arya Asvendra ngrungkepi Agama Hindu Kanung Shiwa Guru Dewa wulangane Ramane, ning punthuk Gebang dheweke nggawe:
1.1. Pamujan, Lingga-Yoni nglambangke bakti-tresnane ning Sembok-Semake (Ibu-Ramane).
1.2. Pamujan Lembu-Nandhi ndepok, nglambangake Tatakan kekuwatane Kawula-rakyate.
1.3. Pamujan reca Dewa Shiwa Guru Dewa, nglambangake Ramane: Rsi Agastya kuwi Guru-Agung Ilmu Kaprajan lan Kasekten-mandraguna.
1.4. Pamujan reca Ganapati Dewane Kawicaksanan putrane Bathara Guru, nglambangake: Slirane dhewe kuwi putrane Guru Rsi Agastya.
2. Angkatan Laut Pucangsula dipindhah ning negara Keling dikwasakake Dewi Simah, dibantu garwa hang Sabura; nanging isih kebawah negara Pucangsula.
3. Rsi Agastya diwisudha diunggahake dadi Dhatu Batur, punjere banjar didadekake kutha aran: Batur-retna. Banjar Rabwan dadi Plabuhane negara Baturetna.

Let sawetara taun wong-wong Endrya-Satvamayu krungu warta yen Rsi Agastya jumeneng Dhatu ning negara Baturretna, wong-wong mau banjur akeh kang padha nusul pindhah bebadra ning bumi Dieng kang subur digawe ulah petanen. Wong-wong kang ora dadi tani, diprentahake nyambut gawe ngumpulake wlirang saka peperenge kawah Dieng; wlirange kanggo pedagangan negara Baturretna diganjolake barang-barang petukangan lan kain sutra karo Pedagang saka negara China, liwat plabuhan banjar Rabwan. Negara Baturretna bareng dadi gedhe lan makmur, Dhatu Rsi Agastya nuli mrentahake tukang-tukang ahli pahat batu wong-wong saka Endrya-Satvamayu, diutus nggawe Candhi sepirang-pirang; saben candhi mawa reca Shiwa Bathara Guru; dununge candhi ning bumi punggur Gunung Dieng. Saben candhi kanggo Pamujane Sramana Shiwa Guru saka Pasraman kana-kana wilayahe negara Baturretna. Kaendahan lan kaelokane Pasraman Dieng kang akeh banget candhine Shiwa Guru Dewa, kang kinilung tlaga lan gunung-gunung sesawangane ngresepake ati. Para Sramana menehi jeneng: Pasraman-agung Endrya pra-Astha.

4. Dattsu-agung Dewi Sibah nayogyani ning kaipe Hang Sabura nedya ngedhuk wlirang ning bumi leluwah sawetane Gunung Dieng, sarta nggawe desa ning saelore Kejajar kanggo panggonane wong-wong kang padha nyambut gawe ngedhuk wlirang mau. Wlirang kuwi uga diganjolake karo Pedagang saka negara China.

Pengangkutane wlirang digawekake dalan liwat: Jlumprit, Adireja, Candhirata, Sukareja, mengetan ning Singaraja nuli nganti diemot prau liwat bengawan Bodri. Sungabane bengawan-Bodri ning teluk Bodri segara Jawa digawe plabuhan dagang kang sesambungan dagang karo negara Sabrang kana-kana; papane Teluk Bodri kuwi diapit-apit Punthuk-punthuk gunung Singaraja, kaanane luwih sembada omber banget nyenengake tinimbang plabuhan banjar Rabwan. Mula pedagang wlirang kliwat plabuhan Bodri kuwi malih luwih reja lan maju.

Saka anane sesambungan dagang wlirang karo negara-negara China, negara loro: Keling lan Baturretna kuwi malih dadi sugih lan makmur. Nanging mbanjur nukulake kamurkan, sii lan sijine rebut nguwasani: “Kriwikan dadi Grojogan”. Wekasane dadi perang bandawala. Ing taun Masehi: 436. Sarehne Kawula-rakyat sing dijak bebadra biyen nganti dadi negara Keling lan Baturretna kuwi, asal-usule sedulur wong Kanung Indriya pra Astha Pucangsula, mula peperangan kuwi katelah aran: Perang sedulur Endriya pra Astha.

Ing sajrone perang brubuh Rsi Agastya gugur ning palagan, wong-wong Baturretna saprajurite padha giris buyar mlayu mulih asal-negarane ning Endriya Satvamayu. Kutha Baturretna lan Pasraman Candhi Dieng sarta penambangan wlirang dijegi prajurit Keling kang padha makuwon ning Adireja, pangwasane Dhatu Rsi Agastya dadi cures ganti dikwasani Hang Sabura panglima Angkatan laut keling. Arya Asvendra krungu yen ramane gugur sarta negarane dikwasani paman-Hang Sabura, sakala pikire kobar nedya ngrebut negarane swargi-Ramane kang dadi hak-warisane. Sedyane Arya Asvendra wis dipenggak Ibu Dattsu Pandhita Dewi Sibah, nanging meksa nglimpe Ibune; dheweke mbudalake prajurit Sandi liwat alas Rabwan lan Bawang nusup mengidul nedya ngrebut Pasraman-agung Dieng dhisik, lan panggonan-panggonan wlirang. Tiba apese Arya Asvendra, lagi bisa nrobos beteng-pungkuran Candhi dheweke wis kena tulup-paser mawa racun saka Prajurit-seluman Keling kang padha njaga Candhi. Wasana Arya Asvendra gugur ngrungkepi sangarepe Candhi Sumbadra pamujane Sramana saka Pucangsula, prajurite Arya Asvendra kang perang ning alas-gedhe Rabwan akeh kang padha gugur; mayite pating glethak saenggon-enggon ning alas kono ora ana sing ngrawat, yitmane klambrangan dadi memedi Setan-Roban.

Sebab saka anane perang sedulur kuwi, Dattsu–agung Dewi Sibah ngrasa angles ing panggalih; ewuh aya ing pambudi. Arep ngrewangi negara Baturretna ateges nataki garwa Rsi Agastya. Arep ngrewangi negara Keling ateges nataki sedulur-adhik Dattsu Dewi Simah. Mula puntoning panggalih mbanjur nilar praja lumengser mertapa ning Pasraman Taman Argasoka Gunung Tapa’an, pemrentahan Pucangsula dipasrahake Pepatih; kang didhawuhi ora kena nyampuri urusane Perang-sedulur. Dewi Sibah seda ing nalika taun Masehi: 445, awu-layon dikubur ning Pundhen Gunung Tapa’an.

SIGEG

V. Gunung-Gunung JAWA-PURWA padha njeblug

In tahun Masehi: 450, Gunung Dieng njeblug; Candhi Pasraman-agung Endriya pra Astha rusak korat-karit, para Sramana sing isih slamet padha ngungsi sumebar saparan-paran ngumpul ning pertapan-pertapane Wong agama Hindhu-Kanung, yakuwi wong Agama Hindhu kang muja nggawe pamujan Lingga-Yoni sarta Lembu Nandhi ning Pertapan-pertapan sakubenge Pegunungan Gemawang (Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung).

Ing taun Masehi: 470, Gunung Ungaran nusul njeblug kawahe sing sisih wetan jebrol nyisa dadi kawah-mati Rawa Pening. Bledegaba bulah-bulah gumulung gedhe blabar ngalor-ngetan mlebu segara Jawa, gumulunge alun nyempyok gompenge Pegunungan Kendheng-kidul, dadi pada longsor ngurug segara Teluk Lusi lan segara Jawa; wasana mbanjur dadi dharatan Kabupaten Purwadadi, Kabupaten semarang, Kabupaten Demak, Kecamatan gajah. Nyisa mberemane kali Tanggulangin sing banyune wutah ning sunglon Welahan (Biyen desa kuwi isih ngongkan segara Jawa). Banyu tuk saka sela-selane gompengane Kendheng-kidul kuwi padha nglumpuk dadi kali: Jlagung Tuntang, Serang, Lusi lan Bengawan Juwana/ Silugangga (=Jratun Seluna).

Kawahe Gunung Ungaran sing wis matigenine ngembos-embos njedhul ngalor mengetan ning satengah-tengahe dharatan tilase segara Teluk Lusi; geni mau rina-wengi murub gumrebet manther-anther ora ana pegote dadi Mrapen (Api-Abadi), ning desa Mintheng, Kecamatan Gubug, Kabupaten Purwadadi.

Manut dongeng Legenda: geni Mrapen kuwi tilas besalene Empu Ramadi Dewa tukang gawe keris; sawijining dina dheweke dijak ranjen para Dewa perlu ngethok puncake Gunung Maha Meru kang tansah dipeneki Kethek-kethek padha dolanan uthik-uthik lintang; Empu Ramadi ugik, merga lagi nggawe keris-pusaka Kahyangan Suralaya. Wasana dadi perangrame Dewa-dewa padha ngrubut Empu Ramadi sa-besalene diurug lemah kedhukane Gunung Maha Meru. Sarehne Empu Ramadi sekti tan kena ning pati, senajan wis diurugi lemah saka puncake gunung, ewosamana tetep isih urip sagenine besalen kang dadi geni Mrapen tutug wektu iki.

Bledegabane kawah Ungaran sing wis sirep ngembos-embos njebrot wujud endhut manget-manget ngemu uyah, bola bali mlembung sa-kebo mbanjur mbledhos kumeluk ngganda wlirang; rina-wengi nyuwara Bledhag-bledhug. Linede mblabar ngamblah-amblah nganti salapangan-alun-alun, banyune lined dialap wong-wong desa Kuwu, Kecamatan Kuwu/Wirasari, Kabupaten Purwadadi/Grobogan; digodhog digawe uyah diarani uyah bledhug Kuwu.

Ing taun Masehi: 471, Gunung Maura (Murya) uga njeblug pegunungane sing sisih kidul-wetan pedhot misah dadi Gunung Pati Ayam. Lambene kawah sing jebrol blegedabane mblabar mengidul ngurug Segara supitan Maura, mbajur malih dadi dharatan Kudus, Pati, Juana; nyisa wujud rawa-rawa gedhe wilayah Undhak’an lan bengawan Silugangga.

Blagedeba sing mbludag mengetan nukulake alun omak gedhe nglanjak nyempyok gompenge Pegunungan Ngargapura tumlaweng mengulon tutug Kayen; gumulung baline ombak-gedhe nyered perenge gunung-gunung gompenge padha longsor ngurug segara Teluk-Kendheng, wasana malih dadi tanah ngare: Kayen, Jakenan, kaliori, Rembang, Sulang, lasem lan pamotan. Longsoran perenge Gunung Ngargapura sing sisih kulon ngesuk bumi Argasoka, lemahe malik numpleg ngurug desa-desa tegal pesawahan Pucangsula padha kependhem. (Saiki malih dadi desa: Ngendhen, Lagadhing, Sendangsari, Topar, Klindon, Warugunung). Kraton Pucangsula Endriya pra Astha kesered gumulung baline alun, sakehing wewangunan, omah, candhi, kedhaton, lan liya-liyane keblebeg ambles satengahe Ceruk segara Teluk Juwana; wasana padha sirna ludhes kakubur ning dhasare segara. Mung nyisa pundhen Tapa’an kubur awu layone Kakek-moyang panembahan Kanung, leluhure wong-wong Ngargapura Lasem; lan guwa-guwa tilas pertapaan, sarta sawetara reca Lembu nandhi, Ganapati, Lingga; uga grewalan-pecahan Altar-pamujan sisa tilas gempurane VOC kerja-paksa nggawe ratan-gedhe Daendelsstraat nalika tahun Masehi: 1809-1810.

Sabanjure bumi Argasoka dadi pusa ora ana sing ngenggoni, wekasane dadi grumbul bebondhotan rungkud sirung; kawuwuhan disirik wong dikhandhakake jare: Kuwi lemah singit-sangar panggonane Setan Brahala Dhemit. Wong-wong Kanung sing manggon Ceriwik lan pegunungan Sindawaya isih padha slamet, sing giris padha ngungsi ning perenge Gunung Buthak Pamotan sapengulon tutug wetan Todhanan; wong-wong mau ning bumi kono malih ganti aran Wong Kanor. Sing manggon Todhanan sapengulon tutug Sukolilo, Kabupaten Pati sarta pulo-pulo Rawa desa Kuthuk, Galiran, Kaliyasa, Ngelo, Karangrawa; malih ganti aran Wong Sikeb (=wong Samin). Wong-wong suku Kanung, Kanor, Sikeb mau sanajan wis ngalih ning kana-kana lan ganti arane Suku, nanging Adat-tatacara Budipakarti Kanung isih tetep dirungkepi naluri leluhur Pucangsula Endriya pra Astha. Yen didhawuhi Pamrentah-Negara mlebu Agama apa wae iya ora suwala mung manut kersane sing mrentah. Nanging tumindake ya mung angger: Rubuh-gedhang, obor-blarak = ora tulus suwe mlebu ning nalare.

Sawise 149 taun saka penjebluge Gunung Murya, owahe segara Teluk Serang lan Selat Maura kang malih dadi dharatan, isih nyisa segara Selat Welahan lan Rawa-gedhe Bengawan Silugangga, sarta Teluk Juwana; ngilung Gunung Maura. Bumi dharatan anyar perenge Gunung Murya sing sisih kidul mau, luwih saka satus taun wis dadi alas pejaten kang ngongkang Rawa-gedhe selat Murya. Ing taun Masehi: 620, bumi kono kuwi wis dienggoni wong bebadra saka negara Keling Dattsu Dewi Simah, wong Pegunungan Ngargapura, lan wong Pegunungan Sukalila. Ana kanoman gegedhug A.L. Keling kang isih Trah-darah turun kaping enem saka Hang Sabura/ Dewi Simah, asmane: Hang Anggana; dheweke ngajak wong-wong Pelaut negara Keling lan Petani pokol sing bebadra mau, dijak mbubak alas pejaten nggawe desa lan plabuhan sing gisike nggenggeng karangkitri rupa-rupa, bareng wis dadi desa karan: Getas-Pejaten, plabuhane karan: Tanjungkarang.

VI. Kawitane dumadine negara KUDUS

Ing taun Masehi: 645, sebab saka wuwuh rejane banjar Getaspejaten, Dhatu Hang Anggana nuli ngelar panggonan kuwi mekar mengalor sarta yasa punjere kutha nganggo asmane dhewekke katelah aran Rananggana (Rana + Anggana = Hang Anggana bandhol paprangan). Saiki aran kutha: Kudus. Wektu kuwi wis akeh wong saka India kidul negara Chola sing padha dagang-ganjol ning pasar Tanjungkarang, wong negara Chola mau ngijolake: Babut-prangwedani gambar Pura/Candhi Hindhu, lan minyak-wangi Yasmin/ Tagara, sarta pratus wangi; negara Rananggana ngijoli kayu-jati glondhong, kapuk randhu lan lenga klenthik-klapa. Wong negara Chola kuwi agamane Hindhu Shiwa Maha Dewa, jare Agama kuwi Agung luwih bener lan luwih suci tinimbang Tata Budibudaya suci Jawa-Hwuning. Sabab saka sambung rapete Penggedhe Rananggana karo Juragan-juragan negara Chola, wasana Penggedhe-penggedhe lan wong dhuwuran. Rananggana kuwi wiwit padha kapilut niru Kabudayane wong Chola mau; mlebune Kabudayan Chola ning negara Rananggana ndeseg Tata Budibudaya suci Jawa-Hwuning sing dianggep remeh lan asor. Sarehne kalah birawa kalah gebyar, Penggedhe-penggedhe lan wong Enom-kutha sing umur 18 taun sapengisor padha berag padha ngrasa gagah nggunakake Budayane wong sabrang Ngatas-Angin; luwih-luwih para Wanitane padha anut-ngrubyug: “Kaya Belo melu seton. Kaya bebek nyemplung kedhokan.” Nanging kawula rakyat Cilik ning Karangpadesan, pegunungan lan bumi Rawa, ora mreduli ora nggubris anjrahe Kabudayan manca ngono mau. Wong-wong mau mung botha-bathu mledreng nyambut gawe butuh rejeki kanggo nyampeti krandhah anak-bojone. Dhatu Hang Anggana sarehne wong wegig lan wicaksana, mula uga ngguyubi melu mlebu Agama-Hindhu nanging dudu Hindhu Shiwa, dheweke ngarang Agama Hindhu-Kanung. Sabab ngrumangsani nggone dadi Dhatu-Agung ning negara Rananggana kuwi saka dhukungane kekwatane wong-wong Kanung kang uga isih Wangsane dhewe. Mula wujude Pamujan utawa Pura-purane negara Rananggana kuwi ora niru cakrik Hindhu Chola utawa Hindhu Dieng, dheweke nggawe Pamujan Lembu-Nandhi ndepok ning Altar nglambangake Kekwatane Rakyate, sarta Lingga-Yoni wujud Lumpang-Alu gedhe banget, nglambangake: Hang Anggana Dhatu Agung kang mundhi-bekti Sembok/Semake sarta Dhanhyang Leluhure. (Dununge Sanggar-pamujan kuwi saiki dadi desa Demangan, kakilung gendhong-gendhong Pabrik Rokok).

Saterue nuli nggawe Pamujan Merudhandha-Agung (Saiki isih wujud Menara Kudus cedhak mesjid Kudus-kulon). Merudhandha kuwi nglambangake ke-Agungane negara Rananggana; puncak tengahe Merudhandha didokoki Oncor-prunggu ana pahatane gambar Manyura ngingel, oncore tumumpang ajug-ajug (=Tajug) emas, rina wengi tansah murub nganggo lenga klentik-klapa; dijaga/dirawat Pendhita Hindhu Kanung wong 4 padha ganti saben 4 jam. Oncor kuwi nglambangake Kaluhurane lan Kawicaksanane Hang Anggana; pisungsung saudagar China krajan Tsang Tai Tsung. Ring gisik tepine bengawan Silugangga (Juwana) para Pambelah/Pelayar/Pelaut digawekake candhi pamujane Dewi Hwa Ruh Na recane wujud Dewi Ratune Samodra njoget tetayungan. Saiki tilase candhi-candhi mau wis kari wujud Pura padhang gogrog ning desa: Jatiwetan, Loramkulon, Njepang lan Temulus. Sarehne Rakyat Rananggana kuwi agamane Hindhu Kanung pamuja Lembu nandhi, mula wong-wong mau padha sirik banget mbeleh sapi lan gemang mangan daginge; nganti jaman pangwasane Shunan Tajug-Islam tutug jaman saiki isih dadi Adat-kapercayan, tembunge: “Juuuug… juug, mangan daging sapi kuwi ora ilok Naang/Noook!!!”. Hang Anggana seda in taun Masehi: 660, awu layone dilarung dikelemake ning sumuran sangisor-dhasare Merudandha; ning wektu sabanjure banyu sumur kuwi kanggo mbabtis wong kang arep dadi Pandhita kanung. Rembesane banyu sumur kuwi njedhul tutug gompinge Kali Gelis; gomping kuwi ditembok dhuwur dhasare digawekake jedhingan, banyune kanggo: Siraman ngruwat-sangkalane Bocah kang wiwit demolan dibarengi Kethok-kuncung.

VII. Adege negara MEDHANG-Metaram I

In taun Masehi: 725, ana wong Kanung wegig saka Medhang-Kamulaan (Teluk Lusi Blora) kang isih klebu trah-tedhake Dattsu Dewi Simah, asmane Hang Sanjaya. Dheweke ngajak wong-wong Medhang Kamulaan, wong-wong Keling lan wong-wong Rananggana, diajak bebadra nggalang Banjar papane ning bumi sawetane Gunung Dieng, punjere Banjar dumunung ning Adireja sawetane Gunung Buthak (Kabupaten Temanggung). Wong-wong mau ngumpul ning wong-wong Kanung sisane panjebluge Gunung Dieng sing manggon desa-desa: Gemawang, Kemiri, Limbangan, Boja,; wong-wong mau Agamane Hindhu-Kanung pemuja Lembu-Nandhi lan Lingga-Yoni. Hang Sanjaya nggone nggalang banjar lan punjere kutha dumunung ning Adireja kuwi perlune:

1. Nedya nguripake penambangan wlirang sing wis pusa kanggo pedagangan maneh karo negara China.
2. Supaya bisa cedhak nggone ngirup Desa-desa sing biyene dadi Krerehane Leluhur Endriya pra Astha.

Sesambungan dagang karo negara Sabrang nggunakake plabuhan Teluk-Bodri sing ngongkang segara Jawa, nuli munggah pagenengan Singaraja, Sukareja, lan Candhirata mbanjur tutug Adireja. Hang Sanjaya menehi jeneng negarane mau aran: Medhang-Metriyem (Tegese: Babone saka Medhang), lawas-lawas tembung kuwi malih luntur dadi: Medhang-Metaram.

Wong Medhang-Metaram kuwi agamane rupa-rupa:

1. Hang Sanjaya dhewe agamane Buddha-Kanung naluri saka Leluhur Keling Bhikku Janabadra.
2. Wong-wong pinter mentereng-kutha agamane Hindhu-Chola.
3. Wong kolod pemuja Lingga-Yoni pemundhi Sembok/Semak isih agama Hindhu-Kanung.
4. Wong Cilik Sudra-papa urip rekasa rejekine ora mingsra, ora butuh ning Agama ora mikir swarga-neraka. Butuhe mung ngupaboga nggo nyampeti kaluwarga.

Wong Medhang-Metaram kuwi sanajan Kapercayan lan Agamane rupa-rupa, nanging padha bisa rukun gotong-royong setya ning Negara/Praja. Nalika netepake adege negara Medhang-Metaram lan Undhang-undhang pranatane Praja, swarane sing menang: Wong sing ngagungake Sastra Palawa lan Taun Syaka.

Swarane wong sing ngugemi sastra lan titi taun jawa Hwuning dadi kalah, dianggep Kolod wis ora njamani (Sanepane dianggep kaya Baya-putih sing wis tuwek-loyo). Wusanane sastra Jawa-Purwa karangane Dattsu Agung Pucangsula Dewi Sibah, lan taun Jawa-Hwuning karangane Dhanhyang Kie Seng Dhang malih ora dikanggokake dadi kabur ilang. Negara Medhang-Metaram ngganti resmi ngunakake sastra Palawa lan taun Syaka nalika taun 654 (=Tahun Masehi: 732).

Tan Syaka kuwi taun Pengetan nalika jumenenge Raja Khaniska I wangsa Kushana, diwisuda dadi Narendra negara Chola India Kidul. Dadi dudu asli taune wong Jawa-Purwa.

Dongeng Crita-Legendha :

Pujangga Jawa nggawe crita Aji Saka (=Kabudayan Saka) ngalahake Baya-Putih (=Kabudayan Suci Jawa-Hwuning). Matine sampyuh perang abdi-loro Dora Sambada rebutan kerise Bendarane dikarang digawe Crita dumadine Sastra Jawa-Legena (Jawa-anyar):

HA NA CA RA KA
DA TA SA WA LA
PA DHA JA YA NYA
MA GA BA THA NGA

SIGEG

VII. Dumadine negara LASEM

Sawise panjebluge Gunung Murya (Taun Masehi: 471), segara Teluk Kendheng kang keblabaran blegedebane Gunung Murya lan klongsoran lemah gompinge Pegunungan Kendheng-gamping mau, ing taun Masehi: 850, wis malih dadi dharatan: Pamotan, Sulang, lasem, Rembang lan Juwana; wujude bumi isih katon banthak ngilak-ilak cengkar, ning kana kene mung ana grumbul rerungkudan sarta wit Bogor (=Tal) kang nggrembel gegrombolan. Mung sing cendhak perenge gunung, sing isih akeh wit-witane subur ledhung-ledhung. Ing nalika jaman kuwi wis ana wong Kanung saka desa Criwik lan Sindawaya padha mudhun bebadra mbubak bumi nyithak tegal sawah karasan pekarangan ning bumi pagenengan sakulone Gunung Bugel, dipangarsani wong aran: Ki Wekel. Wong-wong mau padha dadi Tani-pokol nandur jagung-kodhok, kacang-tholo, lan tela elung; desa bubakan-mau katelah aran desa: Tegalamba lan Karas (Karasmula, Karasgedhe, Karaskepoh). Wong-wong liyane sing uga lunga bebadra nanging gemang bubak adoh-adoh, mung terima padha bubak ning perenge Gunung Bugel lan Gunung Gebang sarta lembah sakulone nggunung sing lemahe padha nyumber banyune ngembong dadi rawa, akeh iwake kutuk lan iwak sili gedhe-gedhe; bumi kono sing didadekake desa karan desa Sumbersili (=saiki desa: Sumbergirang, dipangarsani adhike Ki Wekel asmane: Ki Welug, wong pinter sing akeh akale. Wong Sumbersili kuwi panggaotane mung Tani-ngothek undhuh-undhuh woh-wohan kebon-alas utawa memet iwak rawa; wong-wong mau nduweni kapercayaan: Titah kuwi wis duwe jadhangan pangan nalika Tumitah-Urip; sing nandur jambu-klethuk kuwi Semut-getem nggondhol wiji jambu kletuk didokok elenge ngisor watu. Codhot, kalong, lawa nggondol woh-wohan pelok beton lan kebroke padha rugol thukul saenggon-enggon. Mula ora ana carane wong tani-ngothek kuwi padha repot-repot nenandur; wit woh-ohan rak wis padha thukul-Dhewe amrah-saenggon-enggon, iwak-iwak wis padha bebranahan tengkar-tumengkar Dhewe. Menusa ora nandur ora ngingoni mungkari krapa kari memet misaya masang wuwu.

Ing taun Masehi: 870, ana wong neneka saka negara Siyem, nedya bebadra cakalbakal ning bumi pesisir kulone Gunung Argasoka, ndharate ning Sunglon ereng-erenge Pongol pesisir mau; bareng wis mantrah desa kono mau dijenengake: Pereng. Nggone bebadra mau dipangarsani Bhikku Agama Buddha asmane: Gam Swi Lang, krandhah wargane padha nggalangake Sanggar lan Pasraman ning bumi sakidule pongol pereng madhep ngulon. Wong-wong Jawa-Kanung nggone ngarani Pasraman mau aran: Gambiran (=Saka asma: Gam Swi Lang owah aran: Gambiran). Kakek Gam Swi Lang mulangake Agama Buddha-Kanung mundhi ngluhurake asmane Dattsu Dewi Sibah; tumrape wong Siyem Dattsu Dewi Sibah kuwi dianggep Maharani sing wis sarira Bodhisatva. Citrane Sang Dewi dipetha diukir wujud reca Bodhisatva-Avalokitesvara cakrik Reca negara Keling/Keled Bodhisatva ngagem makutha Praba-kudhup Melathi; reca didokok ning altar saburine reca Sang Buddha. Wong Jawa-Kanung lan wong Siyem kuwi lawas-lawas padha sambung jodhon sesilangan, ora ana sing mbedakake Trah asline utawa Kapercayan Agamane.

Ing taun Masehi: 880, Ki Welug nyuwita Bhikku Gam Swi Lang perlu meguru Ilmu Agama Buddha lan ilmu-ilmu liyane. Sawise bontos lan lulus sakeehing piwulang, Ki Welug diparingi titel Pujangga lan asma Wisudhan Kapujanggan, asma: Mbo Widyabadra. Sawise mulih nuli mulangake Ilmu-Karya ning krandhah rakyate. Sing luwih elok wong Sumbersili mau diwulang nggawe panganan:

1. Woh Kamala dibesta gula digawe manisan.
2. Olah-olahan lawuhan: Iwak rawa sawise diresiki nuli diwadhahi klenthing disap-sap sega-jagung lan uyah, diperem limang dina nganti bosok gandane buwadheg arane: Bekasem (utawa: Masin). Ngolahe: Dibothok diuled karo krambil enom parudan, digawe lawuh mangan sega-jagung jangane elung utawa kangkung kela-asem rasane ngabelani banget.

Lebar mangan nganti ateb swarane seru: “Hwaeeeek. Aduh Semboooook segere!!!” Nuli ngenyut manisan Kamala karo lenger-lenger lungguh lincak ora klamben kringete gumrobyos, silir-silir angin semribit saka Gunung Bugel karo mambu gandane kembang sangketan sengir-wangi; uripe wong Tani-ngothek Sumbersili sing kayangono kuwi wis ngrasa girang seneng ayem. Ki Welug Widyabadra ngajak wong Sumbersili nggawe bata gedhe-gedhe perlu digawe tembok nanggul sumberan kang mili pating sreweh mbleberi Desa, banyune diilekake mlebu kali Semangu lan Kemandhung mbajur ajor kali tegalamba terus mlebu rawa Narukan. Liya kuwi wong-wong mau diwulang dadi Kundhi nggawe grabah-lemah, jothoke karan: Kundhen. Uga diwulang dadi Pandhe jothoke karan: Pandheyan. Wong-wong wadon Kundhen diwulang nggawe Ampo-lempeng, lemahe ngapek saka gompeng Palwadhak sing ana lempunge kete-kuning yen wis dadi Ampo rasane rada gurih. Wondene wong-wong Tani-pokol Tegalamba diwulang nandur pari sing tanpa mbutuhake diembong banyu, bibite saka sumbangane wong-wong Siyem arane pari Gaga-rancah, dadine beras aran: Krotog. (Aja diucapake muni: Gogo dipangan kebo loro!! Benere diucapake muni pari Gaga, sing nandur wong tegalamba lan wong Karasmula, ditandur kulone desa).

Adege banjar Karanggan dadi Kutha LASEM

Wong Kanung Tani-ngothek lan Tani-pokol dipimpin Mpu Widyabadra kuwi padha guyub lan seneng banget, dheweke nuli diangkat dadi Rangga (=Pemimpin Karya) sarta pindhah nggawe panggonan karan banjar: Ke-ranggan = Kranggan. Ora lawas banjar Kranggan kuwi malih reja kaya kutha, mbanjur dijenengake, kutha Lasem. Ngapek aran saka tembung: Kama-la lan Beka-sem. Nalika ditetepake dadi kutha Lasem ing masa Bedhidhing taun Masehi: 21 Juni 882 kanthi pahargyan gedhen. Mpu Widyabadra nggawe pengetan Candrasengkala Taun Syaka: 804 = (Akarya: 4, kombuling: 0, manggala; 8) : Akarya kombuling manggala.

Sasedane Mpu Widyabadra (Ki Rangga) ing taun Masehi: 920, kutha Lasem-Argasoka suwene nganti 425 taun tutug pangwasane Mpu Metthabadra ing taun Masehi: 1345, ora ana dahuru lan sambekala. Negara Lasem kuwi bumine cengkar uripe Rakyate kontit-kawuri banget katimbang karo Rakyate negara-negara gedhe Gunung Kidul (Mataram-Parambwana, Daha, Kedhiri, Singasari); nanging pikire wong Lasem kuwi padha ayem-mlekedhem sabar-darana. Mulane negara-negara gedhe mau ora ana sing sudi nglajak utawa njajah. Lagi wiwit jaman Pangwasane Prabu Ayam-Wuruk Majapait, birawane Patih Arya Gajah bandhol-perang Panglima Angkatan Laut Majapait wong saka desa Mada (salore Kecamatan Plosso, Kabupaten Jombang); Akuwu Lasem Mpu Metthabadra ditelukake, pemrentahan Lasem digingsir digantekake Wakile yakuwi Dhampuawang Pr. Rajasawardhana kaipe Prabu Ayam-Wuruk.

Adege Kraton LASEM Dewi Indu-Purnamawulan

Prabu Ayam-Wuruk tindak Lasem karo rayi nak-dulur misan Dewi Indu Purnamawulan garwa Pr. Rajasawardhana. Dewi Indu diwisudha dadi Prabu-putri Lasem; ing nalika taun Masehi: 1351, manggon Puri Kriyan (Tilase saiki dadi Wisma Yatim Piatu Jl. Raya Lasem) Kaendahane lan Tataraharjane kutha Lasem kecathet ning buku Sabda Badra-Santi dening Mpu Santibadra.

Kraton Majapait ambruk

Jamane Sri Kertabhumi (Kertawijaya) ratu Majapait, kaluhurane nanendra wis malih surem, awit para Penggedhe nayaka-praja wis padha mangro-tingal ora bekti ning Narendra; pikire ora setya ning Praja:

1. Padha slingkuh ngenthu-enthu donya-rajabrana.
2. Wis ganti ngidhep ing Gusti ning Agama liya, ora ngidhep Agamane negara Majapait.
3. Penggedhe-penggedhe pesisir lor wilayahe Majapit wis padha mbalela, malih ganti bekti ning Shunan Seh maulana Maghribi.
4. Uripe Kawula rakyat majapait wis klendran ora kopen, bumi alas lan bengawan Brantas diebrakake Penggedhe; bregat-bregat dutebangi kanggo mbangun dalem brenggi.
5. Sri Kertabumi dimusuhi Girindrawardhana Adipati Kedhiri rebutan waris kuwasa Tedhak Leluhur Kedhiri. Girindrawardhana gemang dikwasani Sri Kertabumi Majapait, wekasane thukul daruru pembrontakan ning Kutha Majapait.

Negara Majapait diprawasa kedhiri, dipit karo negara Pesisir kang musat ning Kashunanan Gresik. Negara Majapahait rontog rusak korat-karit sirna ing taun Syaka: 1400, di Candrasengkala: (Sirna: 0, wuk: 0, kertaning: 4, bumi: 1) = Taun Masehi 1478.

Nalika geger pembrontakan kuwi ana Mpu Guru asmane Pr. Santibadra, pujangga Seni Budaya Majapait pangkat: Tumenggung ing Wilwatikta; ditawan Penggedhe-pembrontak Majapait, nanging Mpu Guru bisa lolos kondur ning Lasem karo abdine telu. (Kacritakake ning buku Sabda Badra-Santi). Satekane Lasem kojur, awit kutha Lasem wis dadi negara Islam dikwasani Adipati-putri Maulani Malokhah, kang isih kapernah putra mantu-ponakan dhewe. Eyang Pr. Mbu Guru trima ngalah lumengser dadi Sramana mertapa ning Gunung Tapa’an-Ngargasoka, ngiras mulangake Ilmu Endriya pra Astha ning para Pendhita-pendhita Kanung Ngargapura Lasem, sarta ngarang Pustaka Sabda Badra-Santi (Begja-Rahayu). Nggone dadi Sramana ning kono tutug sepuh seda ing taun Masehi: 1527, awu-layone dikubur ning pundhen Tapa’an kono nunggal sakluwat kumpul karo awu-layone para Dhanhyang leluhur Agung Ngargapura Lasem, yakuwi:

1. Eyang Kie Seng Dhang Dhatu Tanjungputri, seda ing taun Jawa-Hwuning: 30 (=200 taun sadurunge Taun Masehi). Sing dikubur ning kono mung Reliqe, dudu awu-layone.
2. Eyang Hang Sambadra Dhatu Pucangsula, seda ing taun Masehi: 425.
3. Eyang Dewi Si Ba Ha (Dewi Sibah) Dattsu Pucangsula, seda ing taun Masehi: 445.
4. Eyang Rangga Widyabadra, Mpu sing cakalbakal kutha Lasem; seda ing taun Masehi: 920.

Mula ning Pundhen Gunung Tapa’an kuwi sejatine ana kubur awu-layone leluhur Agung lima. Asmane sing nonjol-kaloka mung Eyang Mpu Guru Pr. Santibadra, sabab Eyang Mpu Guru wis ninggali Karangan Sloka wasita Adiluhung Pustaka Sabda Badra-Santi minangka gegaran kanggo Ulah Kautaman tumuju ning kabegjan lan Karahayon.

Nganti wektu-siki Pundhen Gunung Tapa’an kuwi isih wujud Pundhen kang mung dicungkup sarwa prasaja-banget, mung nganggo pager bethek-kayu tanpa omah pangauban udan/panas kanggo para Petirakat Tuguran/Nyekar kang padha rawuh sumewa ning kono. Pangestine Wong-wong nggunung kono kang padha mbesiki lan memundhi Pundhen Leluhur Ngargapura kuwi padha ngantu-antu.

*** Muga-muga enggal anaa Priyagung/Wiryawan/Dhanawan padha kesdu mangastuti mbangun omah Pangauban sarta nggawekake dalan tumuju munggah ning laladan Pundhen Tapa’an kono, supaya ing tembe ndadekake regeng-rejane Desa kono dadi papan Pariwisata; wong desa Ngasinan mbanjur bisa bukak-dhasar nggawe warung jajanan, panganan lan omben-omben kanggo nglayani para Wisata kang mbutuhake isen-isen ***

Dhek jaman kuna, suwargi kakek Kanung R. Panji Karsono ing Kemendhung Laem, sok masitani krabat-kadange Wong-wong Gunung Ngarga; kanthi dikidungake:

“Mangastuti uggyaning Ibu-pertiwi, sukalila mbangun Taman-Argasoka; Nagri: Jladri ardi wana khudup-mlathi.”

Dhek biyen dhek isih jaman penjajahan Landa, akeh wong-wong Tuwa sing apal rengeng-rengeng nembangake Slokane Mbah Panji sing aneh ngono kuwi, nanging wong-wong mau ora ngreti jluntrunge lan tegese Warsitane kidung kuwi. Yen ana wong sing wani takon ning Mbah Buyut Kanung, jawabe iya mung sarwa pralampita: “Mbesuk nggeeeer! Yen wong Jawa wis akeh sing padha ra i ketan, wis kemba Mangan-jali ning wong Tuwa; para-putri ora risi nganggo kathok-cekak sa-nduwure cingklok. Para priyayi dines-resmi kathokan landhung ngagem pici, katon bregas miyatani. Lha ing kono titi-wancine para Janma kang Luber-arta luhur-budi, pada memetri mbanun Pudhen-suci kapetha Candhi. Buyut dhewe iki wis ora menangi jaman kuwi!!!!”

TAMAT

Tambahan Keterangan :

Taun Sejarah diganti taun Masehi, kanggo nggampakake pamikire para Sutresna Sejarah.
Negara Pucangsula, Medhang-Kamulaan, Keling, Rananggana, isih nggunakake Taun Jawa Hwuning lan Sastra Jawa-Purwa.
Negara Medhang-Mataram I, lan Mataram II (Parambwana), wis nggunakake sastra Palawa lan taun Syaka.
Negara Medhang-Mataram I,. Kedhiri, Majapait, Lasem, nggunakake Taun-Syaka

Babon sejarah :

1. Saka Cathetan lan Critane swargi Kakek-kakek Kanung Ngargapura
2. Saka Critane Singkek-singkek suku Chaow Syuhu-Gwamia, lan Shinsey engkong Tya An guru Bhs Kwo le Lasem, taun Masehi: 1930
3. Pustaka Sabda Badra-Santi

Ingkang kepengin kagungan Buku-Sejarah punika supados gethok-tular Motocopy.

Nuwun.
MG/SL